NAMA : DWI LILLAH DHAMAYANTI
KELAS : 2EA28
NPM : 12212290
UNIVERSITAS GUNADARMA
EMPAT PILAR KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
PENGANTAR
Dalam berbagai wacana selalu terungkap bahwa telah menjadi kesepakatan
bangsa adanya empat pilar penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara bagi
negara-bangsa Indonesia. Bahkan beberapa partai politik dan organisasi
kemasyarakatan telah bersepakat dan bertekad untuk berpegang teguh serta
mempertahankan empat pilar kehidupan bangsa tersebut. Empat pilar dimaksud
dimanfaatkan sebagai landasan perjuangan dalam menyusun program kerja dan dalam
melaksanakan kegiatannya. Hal ini diungkapkan lagi oleh Presiden RI Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono, pada kesempatan berbuka puasa dengan para pejuang
kemerdekaan pada tanggal 13 Agustus 2010 di istana Negara.
Empat pilar tersebut adalah (1) Pancasila, (2) Undang-Undang
Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (4) Bhinneka
Tunggal Ika. Meskipun hal ini telah menjadi kesepakatan bersama, atau
tepatnya sebagian besar rakyat Indonesia, masih ada yang beranggapan bahwa
empat pilar tersebut adalah sekedar berupa slogan-slogan, sekedar suatu
ungkapan indah, yang kurang atau tidak bermakna dalam menghadapi era
globalisasi. Bahkan ada yang beranggapan bahwa empat pilar tersebut sekedar
sebagai jargon politik. Yang diperlukan adalah landasan riil dan konkrit yang
dapat dimanfaatkan dalam persaingan menghadapi globalisasi.
Untuk itulah perlu difahami secara memadai makna empat pilar tersebut,
sehingga kita dapat memberikan penilaian secara tepat, arif dan bijaksana
terhadap empat pilar dimaksud, dan dapat menempatkan secara akurat dan
proporsional dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berikut
disampaikan secara singkat (a) arti pilar, (b) pilar Pancasila, (c) pilar UUD
1945, (d) pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia, (e) pilar Bhinneka Tunggal
Ika, serta (f) peran dan fungsi empat pilar dimaksud dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun sebelumnya, ada baiknya bila kita merenung sejenak bahwa di atas
empat pilar tersebut terdapat pilar utama yakni Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Tanpa adanya pilar utama
tersebut tidak akan timbul adanya empat pilar dimaksud. Antara proklamasi
kemerdekaan, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dilukiskan secara indah dan
nyata dalam lambang negara Garuda Pancasila.
Sejak tahun 1951, bangsa Indonesia, dengan Peraturan Pemerintah No. 66
tahun 1951, menetapkan lambang negara bagi negara-bangsa yang diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketetapan tersebut dikukuhkan dengan
perubahan UUD 1945 pasal 36A yang menyebutkan: ”Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Lambang negara
Garuda Pancasila mengandung konsep yang sangat esensial dan merupakan pendukung
serta mengikat pilar-pilar dimaksud. Burung Garuda yang memiliki 17 bulu pada
sayapnya, delapan bulu pada ekornya, 45 bulu pada leher dan 19 bulu pada badan
di bawah perisai, menggambarkan tanggal berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perisai yang digantungkan di dada Garuda menggambarkan sila-sila
Pancasila sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Sementara itu Garuda mencengkeram pita yang bertuliskan ”Bhinneka
Tunggal ika,” menggambarkan keanekaragaman komponen bangsa yang harus
dihormati, didudukkan dengan pantas dan dikelola dengan baik. Dengan demikian
terjadilah suatu kesatuan dalam pemahaman dan mendudukkan pilar-pilar tersebut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia mengandung konsep dan prinsip yang
sangat mendasar yakni keinginan merdeka bangsa Indonesia dari segala macam
penjajahan. Tidak hanya merdeka atau bebas dari penjajahan fisik tetapi
kebebasan dalam makna yang sangat luas, bebas dalam mengemukakan pendapat,
bebas dalam beragama, bebas dari rasa takut, dan bebas dari segala macam bentuk
penjajahan modern. Konsep kebebasan ini yang mendasari pilar yang empat
dimaksud.
Makna Pilar
Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan. Pilar memiliki peran yang
sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh atau rapuh
akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya. Dalam bahasa Jawa tiang
penyangga bangunan atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi rumah
jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat soko
di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat
menentukan kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan
dari jenis kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang
bertempat di rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai
bencana dan gangguan.
Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan pilar atau soko
guru yang merupakan tiang penyangga yang kokoh agar rakyat yang mendiami
akan merasa nyaman, aman, tenteram dan sejahtera, terhindar dari segala macam
gangguan dan bencana. Pilar bagi suatu negara-bangsa berupa sistem keyakinan
atau belief system, atau philosophische grondslag, yang berisi
konsep, prinsip dan nilai yang dianut oleh rakyat negara-bangsa yang
bersangkutan yang diyakini memiliki kekuatan untuk dipergunakan sebagai
landasan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Seperti halnya soko guru atau pilar bagi suatu rumah harus memenuhi
syarat agar dapat menjaga kokohnya bangunan sehingga mampu bertahan serta
menangkal segala macam ancaman dan gangguan, demikian pula halnya dengan belief
system yang dijadikan pilar bagi suatu negara-bangsa. Pilar yang berupa belief
system suatu negara-bangsa harus menjamin kokoh berdirinya negara-bangsa,
menjamin terwujudnya ketertiban, keamanan, dan kenyamanan, serta mampu
mengantar terwujudnya kesejahteraan dan keadilan yang menjadi dambaan warga
bangsa.
- A. PILAR PANCASILA
Pilar pertama bagi tegak kokoh berdirinya negara-bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Timbul pertanyaan, mengapa Pancasila diangkat sebagai pilar bangsa Indonesia.
Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat
diterima oleh seluruh warga bangsa, mengapa bangsa Indonesia menetapkan
Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut
alasannya.
Pilar atau tiang penyangga suatu bangunan harus memenuhi syarat, yakni
disamping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan yang disangganya.
Misal bangunan rumah, tiang yang diperlukan disesuaikan dengan jenis dan
kondisi bangunan. Kalau bangunan tersebut sederhana tidak memerlukan tiang yang
terlalu kuat, tetapi bila bangunan tersebut merupakan bangunan permanen,
konkrit, yang menggunakan bahan-bahan yang berat, maka tiang penyangga harus
disesuaikan dengan kondisi bangunan dimaksud.
Demikian pula halnya dengan pilar atau tiang penyangga suatu negara-bangsa,
harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang disangganya. Kita menyadari
bahwa negara-bangsa Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas
seluas daratan Eropah yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat
ke timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas
sampai pulau Rote, meliputi ribuan kilometer. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17 000 pulau lebih, terdiri atas
berbagai suku bangsa yang memiliki beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai
agama dan keyakinan, maka belief system yang dijadikan pilar harus
sesuai dengan kondisi negara bangsa tersebut.
Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai pilar bagi negara-bangsa
Indonesia yang pluralistik dan cukup luas dan besar ini. Pancasila mampu mengakomodasi
keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. Sila
pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang
terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat
Indonesia, merupakan common denominator dari berbagai agama, sehingga
dapat diterima semua agama dan keyakinan. Demikian juga dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya, tidak hanya
setara, tetapi juga secara adil dan beradab. Pancasila menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, namun dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi
pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Sedang kehidupan
berbangsa dan bernegara ini adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, bukan untuk kesejahteraan perorangan atau golongan.
Nampak bahwa Pancasila sangat tepat sebagai pilar bagi negara-bangsa yang
pluralistik.
Pancasila sebagai salah satu pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
memiliki konsep, prinsip dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief
system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan
jaminan kokoh kuatnya Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Negara Indonesia adalah negara hukum, yang bermakna bahwa hukum harus
dijunjung tinggi dan ditegakkan. Setiap kegiatan dalam negara harus berdasar
pada hukum, dan setiap warganegara harus tunduk dan taat pada hukum. Perlu kita
sadari bahwa satu-satunya norma kehidupan yang diakui sah untuk memaksa
warganya adalah norma hukum, hal ini berarti bahwa aparat pemerintah memiliki
hak untuk memaksa, dan apabila perlu dengan kekerasan, terhadap warganegara
yang tidak mau tunduk dan tidak mematuhi hukum. Memaksa adalah hak asasi aparat
penyelenggara pemerintahan dalam menegakkan hukum.
Suatu negara yang tidak mampu menegakkan hukum akan mengundang terjadinya
situasi yang disebut anarkhi. Sebagai akibat warganegara berbuat dan bertindak
bebas sesuka hati, tanpa kendali, dengan berdalih menerapkan hak asasi,
sehingga yang terjadi adalah kekacauan demi kekacauan. Dewasa ini berkembang
pendapat dalam masyarakat, aparat yang dengan tegas menindak perbuatan
warganegara yang mengacau dinilai sebagai melanggar hak asasi manusia, bahkan
sering diberi predikat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kita perlu
sadar bahwa negara-bangsa Indonesia dewasa ini sedang dijadikan bulan-bulanan
dalam penerapan dan pembelaan hak asasi manusia. Negara-bangsa Indonesia dibuat
lemah tidak berdaya, sehingga kekuatan luar akan dengan gampang untuk
menghancurkannya. Untuk menangkal pengaruh tersebut negara-bangsa Indonesia
harus menjadi negara yang kokoh, berpribadi, memiliki karakter dan jatidiri
handal sehingga mampu untuk menangkal segala gangguan.
Agar dalam penegakan hukum ini tidak dituduh sebagai tindak
sewenang-wenang, sesuka hati penguasa, melanggar hak asasi manusia, diperlukan
landasan yang dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diterima oleh rakyat.
Landasan tersebut berupa cita hukum atau rechtsidee yang merupakan dasar
filsafati yang menjadi kesepakatan rakyat Indonesia. Pancasila sebagai cita
hukum mengejawantah dalam dasar negara, yang dijadikan acuan dalam menyusun
segala peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan common denominator
bangsa, kesepakatan bangsa, terbukti sejak tahun 1945 Pancasila selalu
dicantumkan sebagai dasar negara. Pancasila dipandang cocok dan mampu dijadikan
landasan yang kokoh untuk berkiprahnya bangsa Indonesia dalam menegakkan hukum,
dalam menjamin terwujudnya keadilan.
- Pancasila sebagai dasar negara Negara Kesataun Republik Indonesia
Rumusan Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan dinyatakan
sebagai dasar negara. Dalam setiap dasar negara terdapat dasar fikiran yang
mendasar, merupakan cita hukum atau rechtsidee bagi negara-bangsa yang
bersangkutan. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya
disebutkan:
. . . , maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila menurut rumusan di atas berkedudukan sebagai dasar negara,
sebagai staatsidee, cita negara sekaligus sebagai cita hukum atau rechtsidee.
Cita hukum memiliki fungsi konstitutif dan regulatif terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Segala peraturan perundang-undangan harus
merupakan derivasi dari prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Segala peraturan perundangan-undangan yang tidak konkordan apalagi bertentangan
dengan Pancasila, batal demi hukum. Berikut disampaikan beberapa contoh
peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari Pancasila.
- Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, di antaranya menentukan dalam ”Landasan” :
”Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap mengenai hak asasi manusia
yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya
bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
- Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998, Pasal 1 menetapkan:
”Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indoinesia harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.”
- c. UU No. 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
menentukan di antaranya:
1) Pegawai negeri merupakan unsur aparatur
negara yang bertugas secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan
negara, serta dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945.
2) Termasuk pegawai negeri adalah pegawai
negeri sipil dan militer dan semua pejabat negara.
3) Pasal 28 menetapkan bahwa sebelum
seseorang diangkat menjadi pegawai negeri mengangkat sumpah :”Setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah.”
4) Pasal 23 menetapkan bahwa pegawai negeri diberhentikan
tidak dengan hormat karena melanggar sumpah janji karena tidak setia kepada
Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, dan atau melakukan penyelewengan
terhadap ideologi negara Pancasila, UUD 1945 atau terlibat dalam kegiatan yang
menentang negara dan pemerintah.
- d. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang tersebut di antaranya menentukan:
1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 27).
2) Anggota DPRD mempunyai kewajiban mengamalkan
Pancasila, melaksanakan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan
menaati segala peraturan perundang-undangan; mempertahankan dan memeliha-ra
kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal
45).
Merujuk pada UU tersebut, bagi pegawai negeri, Pancasila adalah segalanya,
karena sangat menentukan sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugasnya
sebagai aparatur negara. Bagi pegawai negeri yang tidak taat dan setia serta
tidak mengamalkan Pancasila dapat dipecat tidak dengan hormat. Namun penegakan
hukum terhadap UU No.43 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 ini masih sangat
lemah, masih terdapat begitu banyak penyimpangan, namun tetap dibiarkan saja.
Negara Indonesia sebagai negara hukum tidak selayaknya membiarkan kondisi
demikian. Perlu usaha nyata untuk mensosialisasikan UU dimaksud, melaksanakan law
enforcement, dan penindakan terhadap pelanggarnya. Dari ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, senang maupun tidak senang, Pancasila
harus dijadikan pilar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara agar
ketentuan-ketentuan hukum tersebut dapat diselenggarakan dengan semestinya.
Sementara itu setiap warganegara memiliki kewa-jiban untuk taat kepada
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga wajib pula untuk
berpegang teguh pada Pancasila sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar kita dapat memahami dengan baik dan benar Pancasila, sehingga timbul
keyakinan akan kebenaran Pancasila sebagai dasar negara perlu memahami konsep
yang terdapat dalam Pancasila yang merupakan common denominator dari
gagasan yang berkembang pada berbagai suku bangsa di seantero tanah air.
Tanpa memahami konsep yang terkandung dalam Pancasila tidak mungkin kita dapat
mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara
tepat dan benar.
- 2. Berbagai Konsep yang terdapat dalam Pancasila
Konsep adalah gagasan umum dan abstrak, merupakan faham universal hasil
olah fikir dan generalisasi manusia. Konsep adalah hasil konstruksi nalar
manusia secara teoretik. Secara logik konsep berfungsi sebagai dalil, suatu
gagasan yang memberikan makna terhadap fenomena atau hal ihwal sehingga
ditemukan esensi atau hakikat dari fenomena atau hal ihwal dimaksud. Konsep
dipergunakan oleh manusia untuk memberikan arti terhadap segala fenomena yang
dialami oleh manusia, sekaligus sebagai acuan kritik dalam memberikan makna
terhadap fenomena yang dihadapi.
Fenomena yang menjadi perhatian manusia sejak zaman purba adalah ”siapa
manusia itu dan apa makna kehidupan ummat manusia ini.” Banyak gagasan yang
dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat sebagai konsep mengenai siapakah
manusia itu. Berikut disampaikan beberapa konsep, sebagai bahan banding dan
perluasan wawasan, mengenai hakikat manusia.
Aristoteles, yang hidup di tahun 384 – 322 sebelum Masehi,
mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon; bahwa manusia
adalah makhluk yang bermasyarakat. Manusia adalah makhluk pribadi merupakan
suatu kesatuan, namun di sisi lain ia adalah makhluk sosial, suatu makhluk yang
tidak mungkin hidup seorang diri, manusia membentuk keluarga, masyarakat,
bahkan berbangsa dan bernegara. Bertitik tolak dari konsep ini maka dipandang
wajar apabila manusia berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konsep lain mengenai siapa manusia adalah pendapat Charles Robert Darwin,
yang hidup antara 1809 – 1882, mengemukakan teori tentang asal muasal segala
makhluk yang ada di dunia termasuk manusia. Dalam bukunya yang berjudul The
Origin of Species ia kemukakan tentang konsep evolusi mengenai
terjadinya segala makhluk di dunia termasuk manusia. Manusia tidak terjadi
sekonyong-konyong tetapi melalui proses perlahan-lahan dan memakan waktu yang
panjang. Konsep ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang berasal dari
Timur Tengah, bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dengan suatu sabda saja. Oleh
karena itu konsep yang dikemukakan oleh Darwin ini mengguncang dunia, dan
ditentang oleh agama. Dari konsep pokok tersebut berkembang konsep tentang
terjadinya makhluk yakni konsep natural selection dan survival
of the fittest. Terjadi seleksi alami yang menyebabkan tetap eksisnya
suatu jenis makhluk tertentu dan berakhirnya makhluk yang lain karena tidak
mampu menyesuaikan dengan tantangan yang dihadapinya. Hanya makhluk yang mampu
untuk mempertahankan eksistensi dirinya, maka makhluk tersebut dapat tetap ada.
Bagi rakyat yang menempati kepulauan Nusantara, sejak zaman purba, sebelum
masuknya agama besar, telah memiliki suatu belief system tentang makna
kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Bila Aristoteles
memandang kehidupan manusia adalah dalam kaitannya dengan masyarakat, bahwa
manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon), rakyat yang
menempati bumi Nusantara ini, khususnya orang Jawa, memandang bahwa kehidupan
manusia adalah menyatu dengan alam semesta. Orang Jawa menyebutnya sebagai ”manunggaling
kawulo Gusti.” Hubungan antara manusia sebagai individu dengan alam
semesta tertata dan terikat dalam keselarasan dan keserasian atau harmoni.
Masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya, dan masing-masing makhluk
saling melayani sehingga terjadi keteraturan dan ketertiban. Yang ingin
diwujudkan adalah ketenteraman dan kedamaian dunia. Orang Jawa menyebutnya
sebagai ”memayu hayuning bawono.” Berikut disampaikan
beberapa konsep yang terdapat dalam Pancasila.
- a. Konsep Religositas
Alam semesta dengan segala isinya ada dan begerak, tumbuh dan berkembang
oleh suatu kekuatan gaib, yang manusia sendiri tidak mampu untuk memahami
dengan seksama. Berkembanglah konsep mengenai hal yang gaib tersebut. Sesuai
dengan tingkat daya nalar manusia, diberikan gambaran mengenai hal yang gaib
tersebut. Suatu ketika manusia beranggapan bahwa kekuatan gaib tersebut
tersembunyi dalam segala sesuatu yang berbentuk besar seperti batu yang besar,
pohon yang besar, gunung yang besar, lautan yang luas dan sebagainya. Manusia
harus bersikap yang baik terhadap benda-benda tersebut bila ingin selamat,
tingkah laku yang tidak terpuji akan mengundang kemarahan kekuatan gaib yang
tersembunyi di dalam benda-benda tersebut, dan berakibat yang tidak
menyenangkan bagi manusia. Hal yang gaib tersebut bersifat tremendum,
menakutkan atau mengerikan, tetapi di sisi lain menggiurkan atau fascinosum.
Namun kemudian manusia beranggapan bahwa sesuatu yang gaib tersebut dapat
dimanfaatkan oleh manusia, seperti pohon yang besar dapat dimanfaatkan untuk
membuat perahu yang dapat dipergunakan untuk mengarungi samudera yang luas.
Meskipun demikian, dalam memanfaatkan benda besar tersebut masih memerlukan
upacara-upacara atau peribadatan tertentu agar segala yang dikerjakan manusia
selamat dan memberi manfaat. Berkembanglah kemudian suatu pola fikir bahwa
kekuatan gaib ini tidak terdapat dalam benda yang besar, tetapi pada
benda-benda keramat, seperti makam para leluhur dan orang hebat, pada
benda-benda keramat seperti keris, batu mulia dan sebagainya.
Pada waktu manusia mulai terlibat dalam kegiatan pertanian timbul
pertanyaan, mengapa suatu ketika usaha pertaniannya berhasil suatu ketika gagal
meski telah diusahakan dengan sebaik mungkin. Timbul suatu gagasan bahwa di
luar usaha manusia dalam pertanian ini terdapat kekuatan gaib di luar kekuasaan
manusia. Manusia tidak mampu membuat padi tumbuh, manusia hanya mampu memberikan
kondisi yang sebaik mungkin agar padi dapat tumbuh dengan subur. Terdapat
kekuatan gaib yang menyebabkan padi tumbuh dan berhasil dengan baik. Manusia
memproyeksikan diri pada kekuatan gaib tersebut, bahwa kekuatan gaib ini
berbentuk seperti manusia tetapi mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang luar
biasa dan di luar jangkauan manusia. Gagasan tentang kekuatan gaib semacam itu
disebut pandangan anthropomorph, memberikan gambaran kekuatan luar
biasa tersebut dalam suatu persona seperti manusia. Contoh gagasan atau konsep
anthropomorph ini misal dikenalnya Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci dan
sebagainya. Setiap kali seorang petani melakukan kegiatan pertanian dimulai
dengan upacara memohon agar dewi-dewi tersebut memberikan restu dan
keberhasilan terhadap pertanian yang diusahakan.
Konsep tentang dewa dan dewi ini berkembang dan diwujudkan dalam figur
sebagai penguasa terhadap aspek kehidupan tertentu, ada dewa penguasa laut,
penguasa api, angin, peperangan dan sebagainya. Dalam pewayangan dapat kita kenal
dewa-dewa tersebut. Di antara dewa-dewa tersebut ada dewa yang paling berkuasa
yang disebut dewa Sang Hyang Wenang. Wenang bermakna kekuasaan atau kewenangan
untuk melakukan apa saja, sehingga Sang Hyang Wenang adalah dewa penguasa
segala hal dan penentu segala seluk beluk kehidupan dewa-dewa, manusia dan alam
semesta.
Terdapat pula suatu ketika timbulnya gagasan bahwa kekuatan gaib ini
terwujud dari asal muasal kehidupan yang bermula pada alat vital yang dimiliki
oleh manusia. Dibuatlah tiruan alat vital manusia dari batu besar yang disebut
sebagai lingga (alat kelamin laki-laki) dan yoni (alat kelamin
wanita). Benda tiruan buatan manusia tersebut dipuja-puja bila ingin
mendapatkan kesuburan. Konsep mengenai kekuatan gaib yang digambarkan di atas
masih dapat kita temui dalam peninggalan sejarah maupun praktek kehidupan
sehari-hari masyarakat, namun secara perlahan terkikis oleh hadirnya
agama-agama baik yang berasal dari India, Cina, maupun Timur Tengah. Namun
dengan pendekatan sinkretisisme yang diterapkan oleh rakyat, utamanya suku
Jawa, dalam menerima agama-agama tersebut, konsep atau gagasan mengenai
kekuatan gaib tersebut masih tetap nampak.
Dengan masuknya agama-agama besar terjadilah perubahan konsep terhadap hal
yang gaib di Indonesia. Kalau semula orang beranggapan bahwa kekuatan gaib itu
tersembunyi dalam benda-benda tertentu, kemudian terwujud dalam suatu sosok
yang digambarkan seperti manusia, maka dengan masuknya agama-agama tersebut
terjadilah perubahan yang sangat drastis mengenai hal yang gaib tersebut.
Kekuatan gaib ini tidak berupa dan tidak berwujud, tidak bermula dan tidak
berakhir, tetapi memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjadikan alam semesta
dan mengaturnya. Berkembanglah konsep mengenai Tuhan yang Esa, apapun namanya.
Nampaknya pemikiran mengenai konsep masalah gaib ini berkembang terus, dewasa
ini terdapat suatu gagasan oleh sementara pihak bahwa yang gaib itu terdapat
dalam diri segala yang tergelar di alam semesta itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia dalam mencari kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa itu perlu dicari
dalam diri masing-masing. Inilah konsep pantheisme. Konsep ini
berkembang terus sampai-sampai ada yang berpandangan bahwa kekuatan gaib yang
luar biasa di luar diri manusia itu tidak ada. Bagi bangsa Indonesia pemikiran
terakhir ini dinilai tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di
Indonesia.
Konsep mengenai kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia
ini adalah konsep religiositas, suatu konsep dasar yang terdapat
dalam setiap agama maupun keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh manusia. Pancasila
mengandung konsep religiositas, suatu konsep yang mengakui dan
meyakini bahwa di luar diri manusia terdapat kekuatan gaib yang menjadikan alam
semesta, mengaturnya sehingga terjadi keselarasan dan keserasian. Sebagai
akibat manusia Pancasila beriman dan bertakwa terhadap kekuatan gaib tersebut.
Pancasila menyebutnya sebagai suatu panduan yang bernama Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang merupakan esensi dari segala agama dan kepercayaan yang berkembang di
Indonesia.
Dewasa ini dunia terpolarisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan,
satu sisi berusaha untuk menerapkan sistem pemerintahan sekular, satu pihak
menerapkan sistem pemerintahan berdasar agama. Pemerintahan sekular berusaha
membatasi bahwa urusan pemerintahan terbatas pada perkara yang menyangkut
urusan kehidupan duniawi, mengatur kehidupan manusia selama hidup di dunia.
Masalah kehidupan manusia setelah meninggalkan dunia menjadi tanggung jawab
pribadi bukan urusan negara dan pemerintahan. Sebagai acuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah kesepakatan yang berkembang dalam
masyarakat sendiri. Sumber kekuasaan dalam pemerintahan sekular adalah rakyat
sendiri yang diperintah. Sedang negara yang berdasar agama mengaitkan kehidupan
duniawi dengan kehidupan setelah manusia meninggalkan dunia yang fana ini.
Penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan duniawi dan
kehidupan ukhrowi. Sebagai acuan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah
segala wahyu yang berasal dari Tuhan. Segala kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan hasil konstruksi nalar manusia yang tidak sesuai atau tidak
merupakan derivasi dari wahyu Tuhan batal demi hukum. Ternyata pertentangan
antara dua sistem pemerintahan ini berkembang makin marak memasuki abad ke XXI.
Dengan berdasar Pancasila utamanya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
dalam penyelenggaraan pemerintahan, agama didudukkan dan ditempatkan secara
proporsional. Agama dihormati tetapi tidak dijadikan dasar penyelenggaraan
pemerintahan dan negara. Dengan demikian kepentingan agama dan konsep sekular
diberi tempat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar Pancasila.
Pemerintahan dengan dasar Pancasila bukan negara agama, tetapi juga bukan
negara sekular. Pemerintahan dengan dasar Pancasila memberikan akomodasi
terhadap gagasan sekular dan pemerintahan berdasar agama.
- b. Konsep Humanitas
Sejak berlangsungnya renaissance, pada abad 14 – 17, orang mulai
menggagas ulang budaya yang berlangsung pada masa Yunani kuno. Bila sejak abad
pertama orang terbius dengan agama-agama besar seperti agama Kristen dan Islam,
sehingga pola fikir dan pola tindak manusia diwarnai oleh ajaran agama-agama
tersebut, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai mengembangkan
daya fikirnya lagi untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapinya. Orang
mempercayakan diri pada daya fikir manusia, bahkan ada yang beranggapan hanya
daya fikir yang dipercaya untuk mengatasi segala persoalan hidup manusia.
Dengan berlangsungnya renaissance terjadi perubahan yang sangat
mendasar mengenai pandangan manusia terhadap hakikat dirinya. Bila sebelum
renaissance berlaku anggapan bahwa suara Tuhan adalah segalanya, sehingga
segala ketentuan yang mengatur manusia sepenuhnya tergantung pada ketentuan
Tuhan, dengan berlangsungnya renaissance orang mulai bertanya apakah
memang demikian seharusnya. Manusia mengangkat dirinya dengan cara mendudukkan
dirinya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk pemikir. Bahkan
suatu ketika merubah anggapan bahwa suara Tuhan itu adalah suara rakyat atau Vox
populi vox Dei.
Berkembanglah faham humanisme suatu faham yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki cirinya masing-masing
secara tersendiri, atau yang biasa disebut sebagai jatidiri. Sebagai turunan
dari anggapan tersebut manusia memiliki kebebasan dalam berfikir, mengemukakan
pendapat, serta menentukan pilihan hidupnya. Gerakan humanisme ini yang
melahirkan gagasan individualisme, liberalisme dan pluralisme.
Gerakan humanisme ini berkembang dengan pesatnya setelah berakhirnya perang
dunia kedua. Hal ini sangat mungkin dipicu oleh rasa penyesalan ummat manusia
yang bersikap dan bertindak dehumanis sepanjang zaman. Manusia diperlakukan
sekedar sebagai alat pemuas kepentingan-kepentingan tertentu. Bangsa-bangsa di
dunia kemudian bersepakat melindungi kebebasan individu tersebut dalam suatu
konvensi yang disebut ”Universal Declaration of Human Rights.”
Faham humanisme yang berisi konsep humanitas menyentuh pula pemikiran
para founding fathers, sehingga oleh Bung Karno diangkat menjadi salah
satu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan diusulkan untuk
dijadikan salah satu prinsip yang menjadi dasar negara. Bung Karno menamakannya
sebagai prinsip peri-kemanusiaan atau internasionalisme. Namun
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia akhirnya
menyepakati sila kedua Pancasila ini ditetapkannya menjadi ”Kemanusiaan yang
adil dan beradab,” yang memiliki makna sebagai berikut:
1) Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Manusia dikaruniai
oleh Tuhan berbagai disposisisi atau kemampuan dasar untuk mendukung misi yang
diembannya. Disposisi tersebut adalah kemampuan untuk berfikir, merasakan,
berkemauan dan berkarya. Sebagai akibat dari kemampuan tersebut manusia
mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Dengan kemampuannya
tersebut manusia menghasilkan karya-karya baik yang bersifat nampak (tangible)
maupun yang tidak nampak (intangible), terakumulasi dalam kehidupannya,
dipelihara dan dijadikan kiblat dan acuan bagi hidupnya. Berkembanglah budaya
dan peradaban. Disebabkan oleh pengalaman sejarah hidup yang berbeda yang
dialami oleh masing-masing komunitas atau kelompok masyarakat, maka setiap
kelompok masyarakat memiliki budaya dan peradabannya sendiri-sendiri. Demikian
pula halnya dengan bangsa Indonesia. Sebagai manusia atau suatu komunitas wajib
menghormati kodrat, harkat dan martabat manusia yang manifestasinya berupa
keaneka ragaman adat budaya lokal dan daerah.
2) Dengan kemampuan dasar ”kemauan,” didukung
oleh kemampuan fikir, perasaan, dan karya, manusia selalu berusaha untuk hidup
dalam kondisi yang terbaik yang menimpa dirinya. Manusia selalu dirundung oleh
ambisinya tersebut untuk mencari segala sesuatu yang diharapkan akan memberikan
kepuasan hidupnya baik mengenai hal-hal yang bersifat jasmani maupun rokhani.
Tuhan mengaruniai kebebasan pada manusia dalam menentukan pilihan hidupnya
dalam mencari yang terbaik bagi kehidupannya. Namun kebebasan yang dikaruniakan
oleh Tuhan kepada manusia tersebut tidak cuma-cuma. Kebebasan tersebut harus
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan maupun kepada masyarakat sekitarnya.
Kebebasan ini biasa disebut sebagai hak asasi manusia, merupakan mahkota bagi
kehidupan manusia yang tidak boleh diganggu gugat. Namun dalam melampiaskan
kebebasan tersebut manusia dibatasi, sekurang-kurangnya oleh kebebasan yang
juga menjadi hak manusia lain. Terdapat cara yang dengan mudah dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam menuntut atau melampiaskan kebebasan manusia,
yakni tidak dibenarkan mengganggu dan melanggar kebebasan pihak lain pada waktu
seseorang menuntut dan melampiaskan kebebas-annya.
3) Meskipun manusia diciptakan dalam
kesetaraan, namun realitas menunjukkan adanya fenomena yang beragam ditinjau
dari berbagai segi. Keaneka ragaman manusia dapat dilihat dari sisi jasmani
maupun mentalnya, sehingga setiap manusia memiliki kepribadian yang beragam
yang membentuk jatidiri manusia sebagai individu. Namun dalam keaneka ragaman
tersebut terdapat hal-hal yang disepakati bersama, menjadi pengikat
kehidupan bersama. Terdapat nilai-nlai dan prinsip-prinsip sama yang merupakan common
denominator antar berbagai komunitas. Sifat pluralistik manusia
dihormati dan didudukkan dengan sepatutnya, tetapi harus dibingkai dalam suatu
kebersamaan dan kesatuan.
4) Tata hubungan manusia dengan manusia yang
lain dikemas dalam tata hubungan yang dilandasi oleh rasa kasih sayang. Bahwa
eksistensi manusia di dunia adalah untuk dapat memberikan pelayanan pada pihak
lain; orang Jawa menyebutnya sebagai ”leladi sesamining dumadi.” Manusia
sebagai makhluk yang mengemban amanah untuk menjaga kelestarian ciptaan Tuhan
memegang suatu prinsip ”memayu hayuning bawono.” Hal ini akan
terselenggara dengan baik apabila dilandasi oleh sikap ”sepi ing pamrih,
rame ing gawe; jer basuki mowo beyo;” bahwa dalam mengusahakan tewujudnya
kehidupan yang sejahtera, terciptanya keharmonisan segala ciptaan Tuhan,
manusia harus menyisihkan kepentingan pribadi dan golongan, serta rela
berkorban demi terwujudnya kondisi yang diharapkan dimaksud. Hal ini dapat
terselenggara bila didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang sesama.
5) Dalam berhubungan dengan sesama diharapkan
manusia mampu untuk mengendalikan diri, tidak merasa dirinya yang paling benar,
paling hebat, paling kuasa, sehingga mengabaikan dan memandang remeh atau tidak
penting pihak lain. Orang Jawa mengatakannya ”ojo dumeh, ojo adigang,
adigung, adiguno.” Secara bebas dapat diartikan jangan meremehkan pihak lain
maupun kondisi yang terjadi, jangan bersikap angkuh, merasa dirinya paling
hebat dalam segala hal. Sifat inklusif harus dikembangkan sedang sifat
eksklusif harus dihindari. Sementara itu kejujuran harus dikembangkan sebagai
landasan untuk mengikat hubungan yang serasi, selaras dan seimbang. Demikian
pula sifat mementingkan diri sendiri yang mengantar timbulnya kesrakahan harus
dihindari.
- c. Konsep Nasionalitas
Abad ke XX merupakan abad kebangkitan wawasan kebangsaan bagi negara-negara
di wilayah Asia, tidak terkecuali bagi masyarakat yang mendiami wilayah yang
pada waktu itu dikuasai oleh pemerintah Belanda, yang bernama Nederlands
Oost Indie atau Hindia Belanda. Sejak tahun 1908 para pemuda telah gandrung
dengan wawasan kebangsaan dengan mendirikan organisasi Boedhi Oetomo.
Organisasi ini yang kemudian memicu lahirnya berbagai organisasi kepemudaan
yang berasal dari berbagai daerah Hindia Belanda. Organisasi kepemudaan ini
yang mendeklarasikan ”Sumpah Pemuda” yang sangat monumental, yang mengkristal menjadi
dorongan kuat bagi lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan bahwa salah satu prinsip
dasar negara adalah ”kebangsaan.” suatu prinsip bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan untuk kepentingan seseorang, golongan, tetapi suatu dasar
”semua buat semua.” Faham kebangsaan ini bukan merupakan faham kebangsaan yang
sempit atau chauvinisme. Usul Bung Karno ini kemudian disepakati oleh BPUPKI
menjadi persatuan Indonesia, yang memiliki makna sebagai berikut:
1) Rakyat Indonesia dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara terikat dalam suatu komunitas yang namanya bangsa Indonesia.
Mereka mengaku dengan ikhlas dan bangga sebagai warga bangsa Indonesia, cinta
serta rela berkorban demi negara-bangsanya.
2) Tanpa mengurangi hak pribadi, loyalitas
warganegara terhadap negara-bangsanya, mengenai perkara yang bersifat sekular
atau duniawi, diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan
3) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan
ciri golongan, baik ditinjau dari segi etnis, suku, agama, maupun adat budaya,
dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam menegakkan persatuan dan
kesatuan bangsa. Wawasan kebangsaan tidak mengeliminasi keanekaragaman.
Kearifan lokal (local wisdom) dipelihara, dijaga dan dikembangkan
sejalan dengan wawasan kebangsaan. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat
sebagai puncak-puncak kebudaya-an di daerah di seluruh Indonesia diperhitungkan
sebagai kebudayaan bangsa.
4) Atribut negara-bangsa seperti bendera
merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, lambang negara Garuda Pancasila,
bahasa nasional Indonesia dan gambar kepala negara dihormati dan didudukkan
secara proporsional sesuai dengan kesepakatan bangsa. Memperlakukan atribut
negara secara tidak senonoh atau kurang beradab tidak sesuai dengan esensi
wawasan kebangsaan. Menghormati atribut negara-bangsa tidak bermakna menyembah
atau mensakralkan atribut tersebut. Perlu disadari bahwa mencederai atribut
bangsa, atau melecehkan atribut bangsa sama saja dengan melecehkan diri sendiri
sebagai warganegara-bangsa.
5) Dengan berprinsip pada wawasan kebangsaan,
bangsa Indonesia tidak menolak masuknya kebudayaan asing dengan syarat bahwa
kebudayaan dimaksud harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, kesatuan dan persatuan
banga. Bahwa kebudayaan asing dimaksud dapat memperkem-bangkan dan memperkaya
kebudayaan bangsa, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
6) Dalam mengembangkan wawasan kebangsaan
perlu dihindari berkembangnya faham kebangsaan sempit, yang memandang bangsanya
sendiri yang paling hebat di dunia dan memandang rendah bangsa yang lain.
Demikian pula dengan wawasan kebangsaan tidak berkembang menjadi faham
ekspansionis yang berusaha untuk menguasai negara-bangsa lain. Dengan berpegang
pada wawasan kebangsaan, bangsa Indonesia memiliki missi untuk ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
- d. Konsep Sovereinitas
Bila sila pertama, kedua dan ketiga Pancasila memberikan makna tata
hubungan manusia dengan sekitarnya, maka sila keempat ”Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,”
memberikan gambaran bagaimana selayaknya tata cara hubungan antara unsur-unsur
yang terlibat kehidupan bersama, untuk selanjutnya bagaimana menentukan
kebijakan dan langkah dalam menghadapi permasalahan hidup. Sedangkan sila
ke-lima ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,”
memberikan gambaran mengenai tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan
bersama, hidup berbangsa dan bernegara.
Berbagai pihak memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud ”kerakyatan”
adalah yang oleh berbagai negara disebut demokrasi. Kerakyatan adalah demokrasi
yang diterapkan di Indonesia yang memiliki ciri sesuai dengan latar belakang
budaya bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan
yang berprinsip bahwa sumber kekuasaan atau wewenang dalam menyelenggarakan
pemerintahan bersumber pada rakyat.
Dengan maraknya faham humanisme, pada era renaissance, manusia mulai
mempertanyakan mengenai hakikat kekuasaan dalam memerintah. Kalau pada abad
tengah dan sebelumnya negara pada umumnya dipimpin oleh seorang raja atau
kaisar yang mengaku mendapat limpahan wewenang dari Tuhan, pada akhir abad ke
XVIII orang mulai menyangsikan hal tersebut. Dengan mendudukkan manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya, berasumpsi bahwa selayaknya kekuasaan atau
wewenang memerintah itu bersumber dari yang diperintah, dari rakyat. Sangat
terkenal semboyan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln (1809 – 1865),
presiden ke-16 dari Amerika Serikat, tentang demokrasi. Dikatakannya bahwa
demokrasi adalah ”government from the people, by the people and for the
people”, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebenarnya gagasan manusia mengenai sumber kekuasaan yang terdapat pada
rakyat, telah jauh hari difikirkan sebelum Lincoln mengemukakan slogan yang
sangat terkenal tersebut. Thomas Jefferson (1743 – 1826) presiden ketiga dari
Amerika Serikat sejak tahun 1770-an telah mengemukakan gagasannya, dan setelah
dibahas oleh para founding fathers Amerika, diterima sebagai pernyataan
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Sangat terkenal preambule deklarasi itu
yang rumusannya sebagai berikut:
We hold these truths to be self-evident that all men are created equal,
that they are endowed by their Creator with unalienable Rights, that among
these are Life, Liberty, and the Pursuit of Happiness. That to secure these
rights, Governments are instituted among Men, deriving just powers from the
consent of the governed.
Pernyataan inilah sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan demokrasi yang
bersifat individualistik dan liberalistik di Amerika Serikat. Ada baiknya
kalau kita bandingkan dengan gagasan Lafayette (1757 – 1834) dari Perancis yang
kemudian diolah menjadi Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen
yang rumusannya, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah sebagai
berikut:
Men are born and remain free and equal in rights. Social distinction can be
based only upon public utility. The aim of every political association is the
preservation of the natural and imprescriptible rights of man. These rights are
Liberty, Property, Security, and Resistance to Oppression. The source of all
sovereign is essentially in the nation, no body, no individual can exercise
authority that does not proceed from it in plain terms. Liberty consists in the
power to do anything that does not injure others . . . .Law is the
expression of general will, all citizen have the right to take part personally
or by their representatives in it formations . . .
Nampak adanya perbedaan landasan penyeleng-garaan demokrasi antara Amerika
Serikat dan Perancis. Demokrasi Amerika Serikat terlalu berorientasi pada
kepentingan pribadi dan melindungi hak asasi individu. Hal ini nampak dalam
rumusannya yang berbunyi :”Governments are instituted among men, deriving
just powers from the consent of the governed.” Sedang Perancis mengutamakan
negara dalam penerapan demokrasi, terbukti dalam pernyataannya :” The source
of all sovereign is essentially in the nation.” Marilah sekarang kita
bandingkan prinsip dari dua negara tersebut dengan prinsip yang melandasi
demokrasi di Indonesia. Berikut disampaikan beberapa frase yang berisi prinsip
bagi penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa;
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya;
Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, . . . ,maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, . . . , yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tidak terdapat
istilah atau kata-kata individu atau manusia, tetapi yang ditonjolkan adalah
kepentingan bangsa. Kemerdekaan adalah hak bangsa, proklamasi kemerdekaan
Indonesia adalah untuk dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas, bahwa
pemerintahan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan di
antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahwa Negara
Republik Indonesia menerapkan kedaulatan rakyat dalam gerak pelaksanaannya
dengan berprinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/pewakilan.
Dengan demikian demokrasi yang bersendi pada liberalisme yang
individualistik tidak sesuai dengan demokrasi yang selayaknya diterapkan di Indonesia.
Demokrasi di Indonesia tidak semata-mata untuk membela dan mengakomodasi hak
pribadi, tetapi juga harus menga-komodasi kepentingan bangsa. Bersendi pada
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi yang
diterapkan di Indonesia hendaknya memenuhi keten-tuan-ketentuan sebagai berikut
:
1) Segala keputusan demokratis tidak
dibenarkan mengarah pada timbulnya perpecahan bangsa.
2) Dalam mengambil keputusan hendaknya selalu
berpegang pada adagium bahwa negara-bangsa ditempatkan di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
3) Hak-hak pribadi tetap dihormati tetapi
selalu ditempatkan dalam kerangka terwujudnya keselarasan hidup serta
kelestarian ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
4) Keputusan demokratis bukan semata-mata
mengakomodasi aspirasi dan keinginan rakyat atau warganegara tetapi harus
mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5) Praktek demokrasi yang diselenggarakan di
negara lain dapat diterapkan di Indonesia dengan berpegang pada ketentuan di
atas. Pengambilan keputusan dengan cara voting dibenarkan sejauh
musyawarah untuk mencapai mufakat tidak dapat mencapai hasil.
6) Demokrasi yang diterapkan di Indonesia
tidak semata-mata mengacu pada proses, tetapi harus memperhatikan juga tujuan
yang telah menjadi kesepakatan bangsa.
- e. Konsep Sosialitas
Pada umumnya, orang berbicara tentang demokrasi selalu dikaitkan dengan
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga selalu dikaitkan dengan kehidupan
politik negara-bangsa. Dengan penyelenggaraan demokrasi manusia dihormati,
dihargai dan didudukkan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.,
sehingga timbul kepuasan batin dalam diri manusia. Namun kepuasan hidup manusia
tidak hanya terbatas pada kepuasan mental dan spiritual saja, manusia juga
memerlukan kepuasan dari sisi material. Manusia membutuhkan berbagai keperluan
hidup, baik yang berupa materi pendukung bagi hidupnya, maupun mengenai hal-hal
yang bersifat mental dan spiritual.
Bung Karno dalam berbagai kesempatan selalu mengutip pendapat Juarez yang
mengatakan bahwa demokrasi parlementer atau demokrasi politik tidak cukup,
demokrasi politik harus disertai dengan demokrasi ekonomi. Dikatakannya :
Dalam demokrasi parlementer tiap-tiap orang dapat menjadi raja. Tiap orang
dapat memilih, tiap orang dapat dipilih. Tiap-tiap orang dapat memupuk
kekuasaan untuk menjatuhkan menterinya, tetapi di bidang ekonom tidak demikian.
Si kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah raja, besok pagi di
dalam pabriknya ia dapat dilempar ke luar dari pabriknya, menjadi orang yang
tiada kerja.
Selanjutnya dikemukakan bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya
negara Republik Indonesia ini adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, yang bermakna suatu masyarakat yang adil dan makmur, berbahagia buat
semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan,
tidak ada exploitation de l’ homme par l’homme. Sehingga akan terwujud
masyarakat yang berbahagia, cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem kerta raharja. Persoalan yang timbul adalah bagaimana
untuk dapat merealisasikan gagasan ini. Pemerintahan Inggris bercita-cita untuk
mewujudkan affluent society, masyarakat yang serba kecukupan, masyarakat
yang serba melimpah ruah dengan keperluan hidup, diterapkan pendekatan security
welfare state. Setiap warga negara harus ikut dalam program asuransi, yang
akan menjamin kelangsungan hidupnya. Amerika Serikat menerapkan yang disebut positive
welfare state, yakni dengan cara memotong pengasilan orang kaya untuk dapat
disebarkan kepada yang kurang beruntung. Bagaimana bangsa Indonesia mewujudkan
masyarakat yang adil dan sejahtera.
Berbagai pemikiran telah diusahakan bagaimana mewujudkan masyarakat yang
adil dan sejahtera. Pasal-pasal UUD 1945 telah memberikan landasan untuk
mencapai hal tersebut, di antaranya terdapat dalam pasal 33 dan 34 yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara.
(3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkan-dung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemak-muran rakyat.
(4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berda-sar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelan-jutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipeli-hara
oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masya-rakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara betanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pela-yanan umum yang layak.
Dengan telah tersedianya landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi ini,
tinggal bagaimana rakyat Indonesia menjabarkan lebih lanjut menyusun peraturan
perundang-undangan yang merupakan turunan dari pasal-pasal dimaksud, untuk
selanjutnya direalisaikan dalam kenyataan.
- 3. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila
Konsep dasar religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan
sosialitas tersebut kemudian terjabar menjadi prinsip berupa lima sila yang
diacu oleh bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh Bung Karno sila-sila Pancasila itu disebut the five principles of
Pancasila.
Prinsip adalah gagasan dasar, berupa aksioma atau proposisi awal yang
memiliki makna khusus, mengandung kebenaran berupa doktrin dan asumsi yang
dijadikan landasan dalam menentukan sikap dan tingkah laku manusia. Prinsip
dijadikan acuan dan dijadikan dasar menentukan pola pikir dan pola tindak
sehingga mewarnai tingkah laku pendukung prinsip dimaksud. Sila-sila Pancasila
itulah prinsip-prinsip Pancasila. Berikut disampaikan prinsip-prinsip Pancasila
dan penjabarannya.
- a. Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari konsep religiositas terjabar menjadi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
yang berisi ketentuan sebagai berikut:
- Pengakuan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
- Setiap individu bebas memeluk agama dan kepercayaannya;
- Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada pihak lain;
- Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
- Saling hormat-menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan;
- Saling menghargai terhadap keyakinan yang dianut oleh pihak lain;
- Beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu kebebasan beribadat bagi pemeluk keyakinan lain;
- Dalam melaksanakan peribadatan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.
- b. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Dari konsep humanitas berkembang menjadi prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab dengan ketentuan-ketentaun sebagai berikut:
- Hormati disposisi/kemampuan dasar manusia sebagai karunia Tuhan dengan mendudukkan manusia sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya;
- Hormatilah kebebasan manusia dalam menyampaikan aspirasi dan pendapat;
- Hormatilah sifat pluralistik bangsa dengan cara:
- Kembangkan sikap inklusif, yang bermakna bahwa dalam berhubungan dengan pihak lain tidak bersikap menangnya sendiri, bahwa pendapatnya tidak mesti yang paling benar dan tidak meremehkan pendapat pihak lain.
- Jangan bersifat sektarian dan eksklusif yang terlalu membanggakan kelompoknya sendiri dan tidak memperhitungkan kelompok lain. Sebagai akibat berkembang sikap curiga, cemburu dan berlangsung persaingan yang kurang sehat.
- Hindari sifat formalistik yang hanya menunjukkan perilaku semu. Sikap pluralistik dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai dan saling hormat menghormati. Bahkan harus didasari oleh rasa kasih sayang sehingga dapat mempersatukan keanekaragaman dalam kerukunan.
- Usahakan sikap dan tindakan konvergen bukan divergen. Sikap pluralistik mencari common denominator atau de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari keanekaragaman sebagai common platform dalam bersikap dan bertingkah laku bersama.
- Tidak bersifat ekspansif, sehingga lebih mementingkan kualitas dari pada kuantitas.
- Bersikap toleran, memahami pihak lain serta menghormati dan menghargai pandangan pihak lain.
- Tidak menyentuh hal-hal yang bersifat sensitif pada pihak lain.
- Bersikap akomodatif dilandasi oleh kedewasaan dan pengendalian diri secara prima.
- Hindari sikap ekstremitas dan mengembangkan sikap moderat, berimbang dan proporsional.
- c. Persatuan Indonesia
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam prinsip Persatuan Indonesia adalah:
- Bangga pada negara-bangsanya atas kondisi yang terdapat pada negara-bangsanya serta prestasi-prestasi yang dihasilkan oleh warganegaranya.
- Cinta pada negara-bangsanya serta rela berkorban demi negara-bangsanya.
- d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berisi keten-tuan sebagai berikut:
- Dalam mengambil keputusan bersama diutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Win win solution dijadikan acuan dalam mencari kesepakatan bersama. Dengan cara ini tidak ada yang merasa dimenangkan dan dikalahkan.
- Dalam mencari kesepakatan bersama tidak semata-mata berdasarkan pada suara terbanyak, tetapi harus berlandasan pada tujuan yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap keputusan bersama harus mengandung substansi yang mengarah pada terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta terwujud dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Tidak menerapkan prinsip tirani minoritas dan hegemoni/dominasi mayoritas. Segala pemangku kepentingan atau stakeholders dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dilibatkan dalam penetapan kebijakan bersama sesuai dengan peran, kedudukan dan fungsi masing-masing.
- Mengacu pada prinsip politiek-economische demokratie (Bung Karno), bahwa demokrasi harus mengantar rakyat Indonesia menuju keadilan dan kemakmuran, sociale rechtvaar-digheid.
- e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berisi ketentuan sebagai berikut:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara;
- Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
- Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan serta wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
- Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
- 4. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila
- a. Kedamaian
Kedamaian adalah situasi yang menggambarkan tidak adanya konflik dan
kekerasan. Segala unsur yang terlibat dalam suatu proses sosial
berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang, sehingga menimbulkan
keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh
manusia dapat terpenuhi, sehingga tidak terjadi perebutan kepentingan. Hal ini
akan terwujud bila segala unsur yang terlibat dalam kegiatan bersama mampu
mengendalikan diri.
- b. Keimanan
Keimanan adalah suatu sikap yang menggambarkan keyakinan akan adanya
kekuatan transendental yang disebut Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan
manusia yakin bahwa Tuhan menciptakan dan mengatur alam semesta. Apapun yang
terjadi di dunia adalah atas kehendak-Nya, dan manusia wajib untuk menerima
dengan keikhlasan.
- c. Ketaqwaan
Ketaqwaan adalah suatu sikap berserah diri secara ikhlas dan rela diatur
oleh Tuhan Yang Maha Esa, bersedia tunduk dan mematuhi segala perintah-Nya
serta menjauhi segala larangan-Nya.
- d. Keadilan
Keadilan adalah suatu sikap yang mampu menempatkan makhluk dengan segala
permasalahannya sesuai dengan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya
secara proporsional diselaraskan dengan peran fungsi dan kedudukkannya.
- e. Kesetaraan
Kesetaraan adalah suatu sikap yang mampu menempatkan kedudukan manusia
tanpa membedakan jender, suku, ras, golongan, agama, adat dan budaya dan
lain-lain. Setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum dan memperoleh
kesempatan yang sama dalam segenap bidang kehidupan sesuai dengan potensi dan
kemampuan yang dimilikinya.
- f. Keselarasan
Keselarasan adalah keadaan yang menggambarkan keteraturan, ketertiban dan
ketaatan karena setiap makhluk melaksanakan peran dan fungsinya secara tepat
dan proporsional, sehingga timbul suasana harmoni, tenteram dan damai. Ibarat
suatu orkestra, setiap pemain berpegang pada partitur yang tersedia, dan setiap
pemain instrumen melaksanakan secara taat dan tepat, sehingga terasa suasana
nikmat dan damai.
- g. Keberadaban
Keberadaban adalah keadaan yang menggambarkan setiap komponen dalam
kehidupan bersama berpegang teguh pada ketentuan yang mencerminkan nilai luhur
budaya bangsa. Beradab menurut bangsa Indonesia adalah apabila nilai yang
terkandung dalam Pancasila direalisasikan sebagai acuan pola fikir dan pola
tindak.
- h. Persatuan dan Kesatuan
Persatuan dan kesatuan adalah keadaan yang menggambarkan masyarakat majemuk
bangsa Indonesia yang terdiri atas beranekaragamnya komponen namun mampu
membentuk suatu kesatuan yang utuh. Setiap komponen dihormati dan menjadi
bagian integral dalam satu sistem kesatuan negara-bangsa Indonesia.
- i. Mufakat
Mufakat adalah suatu sikap terbuka untuk menghasilkan kesepakatan bersama
secara musyawarah. Keputusan sebagai hasil mufakat secara musyawarah harus
dipegang teguh dan wajib dipatuhi dalam kehidupan bersama.
- j. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan adalah sikap yang menggambarkan hasil olah fikir dan olah
rasa yang bersumber dari hati nurani dan bersendi pada kebenaran, keadilan dan
keutamaan. Bagi bangsa Indonesia hal ini sesuai dengan nilai yang terkandung
dalam Pancasila.
- k. Kesejahteraan
Kesejahteraan adalah kondisi yang menggambarkan terpenuhinya
tuntutan kebutuhan manusia, baik kebutuhan lahiriah maupun batiniah sehingga
terwujud rasa puas diri, tenteram, damai dan bahagia. Kondisi ini hanya akan
dapat dicapai dengan kerja keras, jujur dan bertanggungjawab.
Dengan memahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila,
yang tentu masih akan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa
Indonesia, permasalahan berikutnya adalah bagaimana konsep, prinsip dan nilai
tersebut dapat diimplementasikan secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan
dalam berbangsa dan bernegara.
- 5. Pancasila Ideologi Nasional Bangsa Indonesia
Pancasila memiliki berbagai fungsi bagi bangsa Indonesia, suatu ketika
Pancasila berfungsi sebagai dasar negara, suatu ketika dipandang sebagai
ideologi nasional, suatu ketika sebagai pandangan hidup dan suatu ketika
sebagai ligatur bangsa. Pancasila sebagai dasar negara berfungsi sebagai acuan
bagi warganegara dalam memahami hak dan kewajibannya sebagai warganegara, sehingga
berkaitan dengan pengelolaan dan implementasi peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Negara Kesatuan Redpublik Indonesia. Pancasila sebagai ideologi
nasional berfungsi sebagai acuan bagi bangsa Indonesia dalam mengelola berbagai
kegiatan dalam mencapai tujuan yang ingin diwujudkan oleh negara. Kehidupan
politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam dikelola sesuai dengan konsep,
prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam rangka memahami, untuk selanjutnya meyakini Pancasila sebagai
ideologi bangsa yang dapat dibanggakan dan handal dalam menghadapi
berbagai permasalahan bangsa di masa depan, maka dipandang perlu untuk
mengu-pas secara lebih mendalam hal-hal berikut :
- Pengertian ideologi;
- Lahir, tumbuh-kembang ideologi;
- Pancasila adalah suatu ideologi;
- Pancasila adalah ideologi terbuka;
- Pancasila di tengah-tengah ideologi lain;
- Upaya untuk mempertahankan, memapan-kan dan memantapkan ideologi Pancasila.
- a. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat dan logia
yang berarti kata atau ajaran, sehingga ideologi adalah ilmu tentang
cita-cita, gagasan atau buah fikiran. Selanjutnya A. Destult de Tracy (+
1836) berpendapat bahwa ideologi merupakan bagian dari filsafat ( science
des idees ), yang merupakan ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain seperti
pendidikan, etika dan politik.
Ideologi juga diberi makna sebagai pra-penilaian kesadaran yang timbul
karena pengaruh lingkungan hidup.
Dr. Alfian berpendapat bahwa ideologi adalah pandangan hidup
atau filsafat yang berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar
yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu
masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup mereka
Nilai dasar tersebut biasanya bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah
masyarakat atau bangsa, berakar dan hidup dalam realita kehidupan mereka,
terutama pada waktu mereka berkonsensus untuk menjadikannya ideologi.
Prof. Padmo Wahjono,SH, ideologi diberi makna sebagai pandangan hidup
bangsa, falsafah hidup bangsa, berupa seperangkat tata nilai yang
dicita-citakan akan direalisir di dalam kehidupan berkelompok. Ideologi ini
akan memberikan stabilitas arah dalam hidup berkelompok dan sekaligus
memberikan dinamika gerak menuju ke yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo memberikan arti ideologi sebagai
keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan
dalam kenyataan hidup yang konkrit.
M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi adalah suatu kepercayaan
politik (political belief) sebagai hasil kemauan bersama (volonte
generale), sehingga membentuk keyakinan yang kokoh dalam komunitas politik.
Ideologi ini dalam perjalanan sejarah bangsa akan dijadikan landasan tidak
bergerak yang tangguh, dan sekaligus menjadi cita-cita yang harus diwujudkan
dalam kehidupan nyata masa kini dan masa selanjutnya.
Dari berbagai pendapat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
ideologi adalah:
|
- b. Lahir, tumbuh-kembang Ideologi
Sekurang-kurangnya terdapat dua pandangan mengenai proses terbentuknya
suatu ideologi. Pandangan pertama menyatakan bahwa suatu ideologi yang
berisi konsep-konsep yang abstrak terjadi melalui proses yang disebut
inkrimental, secara berangsur-angsur, yang tumbuh dan berkembang bersama
dengan tumbuh kembang suatu masyarakat, sehingga suatu ketika diakui adanya
nilai dasar, atau prinsip tertentu diterima sebagai suatu kebenaran yang
diyakininya, untuk selanjutnya menjadi pegangan dalam hidup bersama. Nilai
dasar dan prinsip dasar tersebut berkembang menjadi pandangan hidup atau
filsafat hidup yang terjabar dalam norma-norma dalam kehidupan suatu
masyarakat. M. Syafaat Habib berpendapat bahwa ideologi lahir dan
kemudian berkembang dari kepercayaan politik yang terbentuk dari kemauan
umum, perjanjian masyarakat, sebagai realitas historis.
Untuk menjaga kelestarian nilai dasar dan prinsip yang terjabar dalam norma
kehidupan, diperlukan seperangkat aparat, mulai dari bentuk yang sederhana,
sampai bentuk yang rumit. Dalam masyarakat yang masih sederhana kita kenal yang
kita sebut pendukung atau penjaga norma (normendrager).
Pandangan kedua menyatakan bahwa ideologi merupakan hasil olah fikir para
cendekiawan untuk kemudian dijabarkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Contohnya Thomas Jefferson dengan menilai situasi kehidupan yang
berkembang pada zamannya, menarik kesimpulan sehingga terumus menjadi suatu
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang bernafaskan ideologi liberalisme
yang individualistik. Demikian juga Karl Marx mendeklarasikan suatu faham
Marxisme, yang merupakan olah fikir yang merupakan derivasi dari pandangan
Schopenhauer dan Hegel, sebagai tanggapan terhadap perkembangan masyarakat yang
ada pada waktu itu, yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara menjadi manifesto komunis.
Alfian menyatakan bahwa pada umumnya ideologi mengandung dinamika internal
yang memungkinkan untuk selalu memperbaharui diri atas maknanya sehingga selalu
relevan dengan tantangan zamannya, dengan tidak mengingkari hakikat dan
jatidirinya. Dengan cara ini diharapkan mempermantap, mempermapan dan
memperkuat relevansi ideologi itu dengan masyarakatnya. Hal ini dapat terwujud
apabila ideologi tersebut berisi nilai-nilai dasar yang berkualitas, masyarakat
yang bersangkutan memiliki persepsi, sikap dan tingkah laku yang memadai, serta
memiliki kemampuan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang
ideologi tersebut
Dr. William T. Bluhm, yang dikutip oleh M. Syafaat Habib menyatakan
terdapat empat teori mengenai timbulnya ideologi, yakni (1) bahwa ideologi
merupakan rasionalisasi kepentingan yang akan terwujud dalam kehidupan politik;
(2) ideologi muncul secara bebas rasional untuk mewujudkan hakikat kebenaran;
(3) ideologi timbul tidak disadari sebagai jawaban kesulitan-kesulitan sosial
yang timbul dalam masyarakat, sehingga ideologi berfungsi remedial dan kuratif;
(4) ideologi sebagai realisasi hubungan antara perasaan dan arti hidup (sentiment
and meaning), dalam rangka memberikan makna hidup yang baru dan segar, yang
bermuara pada tersusunnya program-program maupun platform praktis, sebagai
bekal otoritas politik bagi pembangunan.
- c. Pancasila adalah suatu Ideologi
Langkah yang harus kita bahas lebih lanjut adalah benarkah Pancasila
memenuhi syarat sebagai suatu ideologi, yang berisi gagasan, cita-cita, nilai
dasar yang bulat dan utuh, yang merupakan kemauan bersama bangsa, dan menjadi
landasan statis dan memberikan arah dinamis bagi gerak pembangunan bangsa.
Seperti di depan telah dikemukakan, Pancasila berisi konsep yang mengandung
gagasan, cita-cita, dan nilai dasar yang bulat, utuh dan mendasar mengenai
eksistensi manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, sehingga dapat
dipergunakan sebagai landasan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Konsep tersebut secara singkat adalah:
- Religiositas, suatu konsep dasar yang mengandung gagasan dan nilai dasar mengenai hubungan manusia dengan suatu realitas mutlak, apapun namanya. Sebagai akibat terjadilah pandangan tentang eksistensi diri manusia, serta sikap dan perilaku devosi manusia dalam hubungannya dengan Yang Maha Esa.
- Humanitas, suatu konsep yang mendudukkan manusia dalam tata hubungan dengan manusia yang lain. Manusia didudukkan dalam saling ketergantungan sesuai dengan harkat dan martabatnya dalam keadilan dan keberadaban sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Benar.
- Nasionalitas, suatu konsep yang menyatakan bahwa manusia yang bertempat tinggal di bumi Nusantara ini adalah suatu kelompok yang disebut bangsa. Sikap loyalitas warganegara terhadap negara-bangsanya merupakan suatu bentuk tata hubungan antara warganegara dengan bangsanya.
- Sovereinitas, suatu konsep yang menyatakan bahwa yang berdaulat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah rakyat, suatu konsep demokrasi, dengan ciri kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
- Sosialitas, suatu konsep yang menggambarkan cita-cita yang ingin diwujudkan dengan berdirinya NKRI. Yang ingin diwujudkan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan perorangan.
Konsep dan nilai yang terdapat dalam Pancasila tersebut merupakan pandangan
yang bersifat universal, merupakan kepedulian para pakar dan cendekiawan sejak
zaman purba sampai dewasa ini. Perbedaannya bahwa konsep-konsep dan nilai yang
terkandung dalam Pancasila tersebut saling terikat menjadi suatu kesatuan yang
utuh dan sistemik, sehingga membentuk suatu ciri khusus atau orisinal, yang
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu ideologi.
Sementara itu pada waktu dirumuskan pada tahun 1945, prosesnya tiada
berbeda dengan proses kelahiran deklarasi kemerdekaan Amerika. Bahwa Pancasila
digali dari realitas kehidupan yang ada di masyarakat, dan mendapat kesepakatan
secara bulat dari wakil rakyat pada waktu itu. Dengan demikian maka Pancasila
dapat disejajarkan dengan ideologi lain di dunia, bahkan mungkin memiliki
kelebihan.
- d. Pancasila adalah Ideologi Terbuka
Sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dinyatakan sebagai
ideologi terbuka. Demikian juga pada masa reformasi beberapa Ketetapan MPR RI
menetapkan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Menurut Dr. Alvian, suatu ideologi terbuka memiliki tiga dimensi, yakni (1)
dimensi realitas, yakni bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
ideologi tersebut secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat, (2) dimensi idealisme
yaitu bahwa ideologi tersebut memberikan harapan tentang masa depan yang lebih
baik, dan (3) dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan, yaitu
bahwa ideologi tersebut memiliki keluwesan yang memungkinkan pengembangan
pemikiran.
Selanjutnya dikemukakan bahwa
Pancasila tidak diragukan memiliki tiga dimensi tersebut, pertama bahwa nilai
dasar yang terdapat dalam Pancasila memang senyatanya, secara riil, terdapat
dalam kehidupan di berbagai pelosok tanah air, sehingga nilai dasar tersebut
bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah bangsa. Kedua bahwa nilai dasar
yang terdapat dalam Pancasila memberikan harapan tentang masa depan yang lebih
baik, menggambarkan cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan bersama;
ketiga bahwa Pancasila memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan
merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya,
tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jatidiri yang terkandung
dalam nilai dasarnya.
Sebagai ideologi terbuka Pancasila diharapkan selalu tetap komunikatif
dengan perkembangan masyarakatnya yang dinamis dan sekaligus mempermantap
keyakinan masyarakat terhadapnya. Maka ideologi Pancasila harus dibudayakan dan
diamalkan, sehingga akan menjiwai serta memberi arah proses pembangunan dalam
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- e. Pancasila di tengah-tengah Ideologi Dunia
Sejarah umat manusia memberikan suatu bukti secara jelas bahwa abad ke dua
puluh, sekurang-kurangnya paruh kedua abad dua puluh terjadi suatu persaingan
yang ketat antara ideologi liberal kapitalistik yang dimotori oleh Amerika
Serikat dan ideologi komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet. Persaingan tersebut
berkembang menjadi perang dingin, dan dunia terpecah menjadi blok barat dan
blok timur.
Tidak tahan akan situasi tersebut beberapa pemimpin Negara Asia dan Afrika,
yang di-provoke oleh Bung Karno, pada tahun 1955 menyelenggarakan suatu
konferensi negara-negara yang tidak terlibat pada blok barat, maupun blok timur
di Bandung. Konferensi tersebut yang melahirkan organisasi negera-negara non
blok. Tujuan organisasi ini adalah menuntut terciptanya dunia yang adil
sejahtera dan damai. Apabila kita cermati maka tujuan tersebut tiada lain
adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh Pancasila.
Sebagai langkah lebih lanjut dari perjuangan negara non blok tersebut pada
tanggal 30 September 1960 Bung Karno berpidato di depan PBB, dengan tema “To
build the World Anew,” menawarkan suatu ideologi yang diharapkan dapat
memberikan keadilan dan kedamaian dunia. Ideologi tersebut adalah Pancasila
yang oleh bung Karno disebut sebagai hogere optrekking dari Declaration
of Independence USA dan Manifesto Komunis USSR.
Ternyata memasuki tahun 1990-an ideologi komunis mengalami kemerosotan yang
luar biasa, atau mungkin suatu kemunduran, hal ini disebabkan oleh sifat
tertutupnya ideologi yang tidak mungkin bertahan di era globalisasi. Sementara
ini ideologi liberalisme yang memiliki ciri kebebasan, dan kesetaraan masih
dapat bertahan dan tersebar di se antero dunia. Namun perlu dicatat bahwa
masuknya liberalisme di beberapa negara berkembang menimbulkan kesukaran
tersendiri, seperti terjadinya kebebasan yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan kesukaran tersendiri. Sekularisme yang biasanya menyertai faham
liberal ini di beberapa negara berkembang, yang berorientasi pada agama
tertentu, menjadi penghalang. Oleh karena itu Pancasila yang merupakan ideologi
terbuka dan memberikan peluang untuk beribadah sesuai dengan agama
masing-masing memberikan suatu solusi terhadap permasalahan tersebut.
- f. Upaya mempertahankan, memantapkan, memapan-kan, dan mengokohkan Pancasila sebagai ideologi
Menurut Alfian terdapat empat faktor yang dapat menjadikan suatu
ideologi tetap dapat bertahan dan menjadi ideologi yang tangguh, yakni (1)
bahwa ideologi tersebut berisi nilai dasar yang berkualitas, (2) bahwa ideologi
tersebut difahami, dan bagaimana sikap dan tingkah laku masyarakat terhadapnya,
(3) terdapat kemampuan masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang
relevan dengan ideologi tersebut tanpa menghilangkan jatidiri ideologi
dimaksud, dan (4) seberapa jauh nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi itu
membudaya dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejauh mengenai Pancasila sebagai suatu ideologi faktor pertama mengenai
kualitas nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak perlu diragukan, tetapi
faktor 2, 3, dan 4 masih memerlukan usaha untuk dapat mempertahankan,
memantapkan, memapankan, dan mengokohkan Pancasila. Untuk itulah perlu adanya
usaha secara serius, dengan jalan implementasi Pancasila dalam segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara.
- 6. Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila sebagai pandangan hidup memiliki fungsi sebagai pegangan atau
acuan bagi manusia Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku, berkaitan
dengan sistem nilai, tentang baik dan buruk, tentang adil dan zalim, jujur dan
bohong, dan sebagainya. Dengan demikian membahas Pancasila sebagai pandangan
hidup akan memasuki domein etika, masalah moral yang menjadi kepedulian manusia
sepanjang masa, membahas hal ihwal yang selayaknya dikerjakan dan yang
selayaknya dihindari. Semua agama selalu berkaitan dengan pengembangan moral,
demikian juga adat budaya masyarakat selalu peduli pada moral, sehingga
membahas Pancasila sebagai pandangan hidup akan bersinggungan, bahkan dapat
saja berhadapan dengan ajaran agama dan/atau adat budaya suatu masyarakat
trertentu. Sementara itu kehidupan modernpun mengembangkan nilai dan norma
tertentu yang dimanfaatkann sebagai acuan bersikap dan bertingkah laku manusia.
Agar dalam mengupas Pancasila sebagai pandangan hidup dapat diusahakan secara
proporsional ada baiknya difahami makna (a) nilai, (b) norma, (c) etika dan
moral.
Nilai adalah kualitas yang melekat pada suatu hal ihwal atau subyek tertentu
yang berakibat dipilih atau tidaknya hal ihwal atau subyek tersebut dalam
kehidupan masyarakat. Pemerintahan yang adil selalu menjadi dambaan rakyat.
Lukisan yang indah selalu diburu oleh para kolektor lukisan. Orang yang jujur
selalu dihargai oleh masyarakatnya, dan sebagainya. Apabila nilai idaman dapat
terwujud, maka akan menimbulkan rasa puas diri pada masyarakat, yang bemuara
pada rasa tenteram, nyaman, sejahtera dan bahagia.
Nilai adalah kualitas, ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa dan antar bangsa. Kehadiran nilai dalam kehidupan manusia
dapat menimbulkan aksi atau reaksi, sehingga manusia akan menerima atau menolak
kehadirannya. Konsekuensinya nilai menjadi tujuan hidupnya, yang ingin
diwujudkan atau ditolak dalam kenyataan. Misal keadilan dan kejujuran, merupakan
nilai yang selalu menjadi kepedulian dan dambaan manusia untuk dapat diwujudkan
dalam kenyataan. Sebaliknya kezaliman dan kebohongan merupakan nilai yang
selalu ditolak dalam kehidupan.
Di depan telah diuraikan makna konsep, prinsip dan nilai yang terdapat
dalam Pancasila, yang menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia, dan ingin
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai yang
terkandung dalam Pancasila di antaranya kedamaian, keimanan, ketaqwaan,
keadilan, kesetaraan, keselarasan, keberadaban, persatuan, kesatuan, mufakat,
kebijaksanaan, kesejahteraan.
Norma adalah nilai yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan atau
menilai suatu tingkah laku manusia. Norma berasal dari bahasa Latin yang
artinya siku-siku, suatu alat untuk mengukur apakah suatu obyek tegak lurus
atau miring. Demikian pula halnya dengan norma kehidupan, dipergunakan manusia
sebagai pegangan atau ukuran dalam bersikap dan bertindak; apakah sikap dan
tingkah lakunya menyimpang atau tidak menyimpang dari nilai yang telah
ditetapkan. Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dikenal berbagai
norma, seperti norma agama, norma adat, norma moral, norma hukum dan
sebagainya. Perkembangan nilai menjadi norma sangat tergantung dari pandangan masyarakat
masing-masing serta tantangan zaman. Masing-masing mendukung nilai sesuai
dengan bidangnya. Dari berbagai norma tersebut hanya norma hukum yang memiliki
hak untuk memaksa, norma yang lain implementasinya bersendi pada kesadaran
masyarakat yang bersangkutan.
Etika adalah ilmu tentang kesusilaan, membahas mengenai nilai dan norma
yang meliputi hal ihwal yang selayaknya dikerjakan dan yang selayaknya
dihindari. Etika adalah seperangkat nilai, prinsip dan norma moral yang menjadi
pegangan hidup dan dasar penilaian baik-buruknya perilaku atau benar-salah
tindakan manusia, baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat
- B. PILAR UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Pilar kedua kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memahami dan mendalami UUD 1945,
diperlukan memahami lebih dahulu makna undang-undang dasar bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945. Tanpa memahami prinsip yang terkandung dalam Pembukaan tersebut tidak
mungkin mengadakan evaluasi terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam batang
tubuhnya dan barbagai undang-undang yang menjadi derivatnya.
Makna Undang-Undang Dasar
Beberapa pihak membedakan antara pengertian konstitusi dan undang-undang
dasar. Misal dalam kepustakaan Belanda, di antaranya yang disampaikan oleh L.J.
van Apeldoorn, bahwa konstitusi berisi seluruh peraturan-peraturan dasar, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang berisi prinsip-prinsiup dan norma-norma
hukum yang mendasari kehidupan kenegaraan, sedang undang-undang dasar hanya
memuat bagian yang tertulis saja. Istilah undang-undang dasar sangat mungkin
terjemahan dari grondwet (bahasa Belanda), yang berasal dari kata grond
yang bermakna dasar dan wet yang berarti hukum, sehingga grondwet bermakna
hukum dasar. Atau mungkin juga dari istilah Grundgesetz yang terdiri
dari kata Grund yang bermakna dasar dan Gesetz yang bermakna
hukum. Sangat mungkin para founding fathers dalam menyusun rancangan UUD
mengikuti pola pikir ini, hal ini terbukti dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan
hal sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar
negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis, ialah atura-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Konstitusi berasal dari istilah Latin constituere, yang artinya menetapkan
atau menentukan. Dalam suatu konstitusi terdapat ketentuan-ketentuan
yang mengatur hak dasar dan kewajiban warganegara suatu negara, perlin-dungan
warganegara dari tindak sewenang-wenang sesama warganegara maupun dari
penguasa. Konstitusi juga menentukan tatahubungan dan tatakerja lembaga yang
terdapat dalam negara, sehingga terjalin suatu sistem kerja yang efisien,
efektif dan produktif, sesuai dengan tujuan dan wawasan yang dianutnya.
Begitu banyak definisi tentang konstitusi, namun dari definisi-definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konstitusi adalah:
- Keseluruhan peraturan-peraturan dasar suatu bangsa, negara atau organisasi politik, body politics, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
- Berisi ketentuan-ketentuan yang menetapkan pendistribusian kekuasaan yang berdaulat pada unsur, unit atau lembaga yang terdapat dalam organisasi politik atau negara dimaksud, secara horizontal dan vertikal dalam kehidupan bersama;
- Peraturan-peraturan dasar tersebut mengan-dung prinsip-prinsip dan norma-norma yang mendasari kehidupan bersama;
- Mengatur hak dan kewajiban dari segala unsur yang terlibat dalam kehidupan berma-syarakat dan atau bernegara;
- Menjamin dan melindungi hak-hak tertentu rakyat atau anggotanya.
Konstitusi modern lahir didorong oleh kesadaran manusia akan kedudukan, hak
dan kewajiban manusia sebagai ciptaan Tuhan dalam mengatur tatahubungan
bermasyarakat dan bernegara. Para filsuf seperti Thomas Hobbes, John Locke,
J.J. Rousseau memberikan saham yang sangat besar bagi kelahiran konstitusi
modern ini. Bersendi dari gagasan para filsuf inilah yang kemudian melahirkan
konstitusi modern pertama di Amerika Serikat dan Perancis.
Konstitusi modern bukan hanya merupakan usaha manusia untuk melindungi
dirinya dari tindak kesewenang-wenangan antara sesama manusia dan penguasa,
tetapi lebih bersifat upaya untuk merealisasikan hak asasi manusia,
bagaimana kebebasan individu, dan kesetaraan dalam kehidupan sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya dapat terselenggara dengan sepatutnya. Berkembanglah
pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Apakah hak penguasa untuk memerintah rakyat? Seberapa luas hak tersebut?
- Siapakah yang melimpahkan kekuasaan atau kewenangan untuk memerintah ini?
- Seberapa jauh kewenangan penguasa untuk mengatur segala segi kehidupan rakyatnya?
- Dan sebagainya.
Makna Pembukaan suatu Undang-Undang Dasar
Salah satu bagian yang penting dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar
adalah Pembukaannya, yang biasa disebut juga dengan istilah Preambule atau
Mukaddimah. Dalam Pembukaan suatu UUD atau Konstitusi terkandung prinsip
atau pandangan filsafat yang menjadi dasar perumusan pasal-pasal Batang Tubuh
Konstitusi, yang dijadikan pegangan dalam hidup bernegara. Berikut disampaikan
perbandingan antara Preamble Konstitusi Amerika Serikat dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- a. Konstitusi Amerika Serikat
Rumusan Preamble Konstitusi Amerika adalah sebagai berikut:
We the People of the United States, in Order to form a more perfect
Union, establish Justice, insure domestic Tranquility,
provIde for the common defence, promote the general Welfare,
and secure the Blessing of Liberty to ourselves and our Posterity, do
ordain and establish this CONSTITUTION for the United States of
America.
Untuk lebih memahami isi Preamble Konstitusi Amerika Serikat ini
perlu kita fahami pandangan filsafat yang terdapat dalam Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat yang terdapat dalam alinea pertama yang rumusannya adalah
sebagai berikut:
We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal,
that they are endowed by their Creator with certain analienable Rights, that
among these are Life, Liberty, and the pursuit of Happiness. –
That to secure these rights, Government are instituted among Men,
deriving their just powers from the consent of the governed.
Dari alinea pertama Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, dan dari Preamble
Konstitusi Amerika Serikat dapat kita temukan prinsip-prinsip dan konsep dasar
yang dijadikan landasan penyelenggaraan Negara Amerika Serikat. Prinsip dan
konsep dasar tersebut adalah sebagai berikut:
- Bangsa Amerika mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang setara, dan mengaruniai hak-hak tertentu yang tidak dapat diambil oleh siapapun juga. Hak-hak tersebut di antaranya adalah hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan.
- Sumber kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat yang diperintah. Kekuasaan diterapkan berdasar persetujuan yang diperintah. Inilah prinsip pemerintahan demokrasi yakni just powers from the consent of the governed, seperti yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln (1809 – 1865) presiden Amerika Serikat yang ke-16, yang menyata-kan “government from the people, by the people and for the people.”
- Konstitusi yang disusun tersebut diharapkan dapat mewujudkan (a) more perfect union – persatuan yang lebih sempurna, (b) justice – keadilan, (c) tranquility – ketenangan, (d) common defence – pertahanan bersama, (e) general welfare – kesejahteraan umum, dan merealisasikan liberty – kebebasan. Sejak awal dan sampai kini tidak berubah, bangsa Amerika Serikat menginginkan terwujudnya kesatuan, keadilan, ketenangan, keamanan dan terealisasikannya kebebasan dalam kehidupan bernegara. Prinsip-prinsip inilah yang dapat kita amati praktek kehidupan kenegaraan di Amerika Serikat.
- b. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Marilah kita bandingkan Pembukaan UUD 1945 dengan Preamble Konstitusi
Amerika Serikat. Ada baiknya bila kita fahami dahulu prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk itu marilah kita cermati rumusan Pembukaan UUD
1945 dimaksud.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan
pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat,
adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya;
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan berasab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwa-kilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan srosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Marilah kita mencoba untuk memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pembukaan UUD ini.
- 1. Sumber Kekuasaan
- Di alinea ketiga disebutkan bahwa “pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia itu atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,” yang bermakna bahwa kemerdekaan yang dinyatakan oleh bangsa Indonesia itu semata-mata karena mendapat rahmat dan ridho Allah Yang Maha Kuasa. Suatu pengakuan adanya suatu kekuasaan di atas kekuasaan manusia yang mengatur segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Dengan kata lain bahwa kekuasaan yang diperoleh rakyat Indonesia dalam menyatakan kemerdekaan dan dalam mengatur kehidupan kenegaraan bersumber dari Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam dasar negara sila yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Namun di sisi lain, pada alinea ke-empat disebutkan bahwa “Negara Republik Indonesia tersusun dalam bentuk kedaulatan rakyat,” yang berarti bahwa sumber kekuasaan juga terletak di tangan rakyat. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Bab I, pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, . . . “
- Dari frase-frase terbut di atas jelas bahwa sumber kekuasaan untuk mengatur kehidupan kenegaraan dan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan Rakyat. Terdapat dua sumber kekuasaan yang diametral.
- Perlu adanya suatu pola sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersumber dari dua sumber kekuasaan tersebut. Perlu pemikiran baru bagaimana meng-integrasikan dua sumber kekuasaan tersebut sehingga tidak terjadi kontroversi.
- 2. Hak Asasi Manusia
Dalam Pembukaan UUD 1945, pernyataan mengenai hak asasi manusia tidak
terumuskan secara eksplisit. Namun bila kita cermati dengan seksama akan nampak
bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 memuat begitu banyak frase yang berisi muatan
hak asasi manusia. Berikut disampaikan beberapa rumusan yang menggambarkan
tentang kepedulian para founding fathers tentang hak asasi manusia yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
- Kemerdekaan yang dinyatakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia adalah untuk “menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas,”salah satu hak asasi manusia yang selalu didambakan, dan dituntut oleh setiap manusia.
- Kemerdekaan Negara Indonesia berciri merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, merupakan gambaran tentang negara yang menjunjung hak asasi manusia. Hak kebebasan dan mengejar kebahagiaan diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Keseluruhan alinea kesatu Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu pernyataan tentang hak asasi manusia, yakni kebebasan dan kesetaraan. Kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan merupakan realisasi hak kebebasan dan kesetaraan.
- Sementara pasal 27, 28, 29, 30dan 31 dalam batang tubuh UUD 1945 adalah pasal-pasal yang merupakan penjabaran hak asasi manusia.
Dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, dan beberapa pasal
dalam UUD 1945 telah memuat ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak benar
bila UUD 1945 yang asli tidak mengakomodasi hak asasi manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, apalagi setelah diadakan perubahan UUD.
- 3. Sistem Demokrasi
Sistem pemerintahan bagi bangsa Indonesia terdapat dalam dalam alinea
ke-empat yang menyatakan:” maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan berasab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan srosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Frase
ini menggambarkan sistem pemerintahan demokrasi.
Istilah kedaulatan rakyat atau kerakyatan adalah identik dengan demokrasi.
Namun dalam penerapan demokrasi disesuaikan dengan adat budaya yang berkembang
di Negara Indonesia. Sumber kekuasaan dalam berdemokrasi adalah dari Tuhan Yang
Maha Esa sekaligus dari rakyat. Dalam menemukan sistem demokrasi di Indonesia
pernah berkembang yang disebut “demokrasi terpimpin,” suatu ketika “demokrasi
Pancasila,” ketika lain berorientrasi pada faham liberalisme.
- 4. Faham Kebersamaan, Kegotong-royongan
Dalam Pembukaan UUD 1945 tidak diketemukan istilah individu atau orang,
berbeda dengan konstitusi Amerika Serikat, bahwa konstitusinya adalah untuk
mengabdi pada kepentingan individu. Begitu banyak istilah bangsa
diungkap dalam Pembukaan UUD 1945. Nampak dengan jelas bahwa maksud
didirikannya Negara Republik Indonesia yang utama adalah untuk melayani
kepentingan bangsa dan kepentingan bersama. Hal ini dapat ditemukan dalam frase
sebagai berikut:
- Misi Negara di antaranya adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,” bukan untuk melindungi masing-masing individu. Namun dengan rumusan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan individu diabaikan.
- Yang ingin diwujudkan dengan berdirinya Negara Indonesia adalah ;”suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indnesia.” Sekali lagi dalam rumusan tersebut tidak tersirat dan tersurat kepentingan pribadi yang ditonjolkan, tetapi keseluruhan rakyat Indonesia.
Dari uraian yang disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasalnya mengandung prinsip-prinsip yang
mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut :
- Mendudukkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, wajib bersyukur atas segala rahmat dan karuniaNya. Sehingga merupakan hal yang benar apabila manusia berterima kasih atas kasih sayangNya, tunduk pada segala perintahNya dan mengagungkan akan kebesaranNya.
- Manusia memandang manusia yang lain dalam kesetaraan dan didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan. Manusia diakui akan hak-haknya, diakui perbe-daannya, namun diperlakukan dalam koridor hakikat yang sama. Keanekaragaman individu ditempatkan dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika. Pengakuan keanekaragaman adalah untuk merealisasikan amanah Tuhan Yang Maha Esa, yakni untuk menciptakan kebaikan, kelestarian dan keharmonian dunia.
- Manusia yang menempati puluhan ribu pulau dari Sabang sampai Merauke, dan dari pulau Miangas sampai pulau Rote membentuk suatu kesatuan geographical politics, memiliki sejarah hidup yang sama, sehingga terbentuk karakter yang sama, memiliki cita-cita yang sama, merupakan suatu bangsa yang disebut Indonesia yang memiliki jatidiri sebagai pembeda dengan bangsa yang lain. Jatidiri tersebut tiada lain adalah Pancasila yang menjadi acuan bagi warga-bangsa dalam bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi berbagai tantangan dalam berbangsa dan bernegara.
- Bangsa Indonesia dalam mencari pemecahan masalah yang dihadapi bersama, memilih cara yang disebut “musyawarah untuk mencapai mufakat,” suatu cara menghormati kedaulatan setiap unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama. Hal ini yang merupakan dambaan bagi setiap manusia dalam hidup bersama.
- Manusia dalam kehidupan bersama bercita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan. Bagi bangsa Indonesia cita-cita tersebut adalah kesejahteraan bersama, kemakmuran bersama. Tiada akan ada artinya terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran pribadi tanpa terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bersama.
Apabila prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila ini diterapkan
secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan, maka akan tercipta suasana kehidupan
yang selaras, serasi dan seimbang, sehingga akan terasa suasana nyaman, nikmat
dan adil.
Selaras atau harmoni menggambarkan suatu situasi yang tertib, teratur,
damai, tenteram dan sejahtera bahagia. Hal ini disebabkan oleh karena
masing-masing unsur yang terlibat dalam kehidupan bersama memahami dengan
sungguh-sungguh kedudukan, hak dan kewajiban serta perannya dalam kehidupan
bersama sesuai dengan kodrat dan sifat alami yang dikaruniakan oleh Tuhan. Apa
yang dikerjakan tiada lain adalah semata-mata demi kemaslahatan ummat manusia
dan alam semesta. Situasi semacam ini yang akan mengantar manusia dalam situasi
kenikmatan duniawi dan ukhrowi.
- PILAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Sebelum kita bahas mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia ada baiknya
bila kita fahami lebih dahulu berbagai bentuk Negara yang ada di dunia, apa
kelebihan dan kekurangannya, untuk selanjutnya kita fahami mengapa para founding
fathers negara ini memilih negara kesatuan.
Bentuk Negara seperti konfederasi, federasi dan kesatuan, menurut Carl J.
Friedrich, merupakan bentuk pembagian kekuasaan secara teritorial atau territorial
division oif power. Berikut penjelasan mengenai bentuk-mentuk Negara
tersebut.
- 1. Konfederasi
Menurut pendapat L. Oppenheim dalam bukunya Edward M. Sait menjelaskan bawa
:”A confederacy consists of a number of full sovereign states linked
together for the maintenance of their external and internal independence by a
recognized international treaty into a union with organs of its own, which are
vested with a certain power over the members-states, but not over the citizens
of these states.” Oleh Prof. Miriam Budiardjo diterjemahkan sebagai berikut
:”Konfederasi terdiri dari beberapa negarza yang berdaulat penuh yang untuk
mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas perjanjian
internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap Negara anggota
konfederasi, tetapi tidak terhadap warganegara negara-negara itu.”
Contoh konfederasi adalah Negara Amerika Serikat yang terdiri atas 13
negara bekas koloni jajahan Inggris. selama 8 tahun yang berakhir pada
tahun 1789, karena dipandang merupakan bentuk negara yang kurang kokoh, karena
tidak jelas bentuk kepala negaranya.
- 2. Negara Federal
Ada berbagai pendapat mengenai negara federal, karena negara federal yang
satu berbeda dengan negara yang lain dalam menerapkan division of power.
Menurut pendapat K.C. Wheare dalam bukunya Federal Government,
dijelaskan bahwa prinsip federal ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa
sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang
tertentu adalah bebas satu sama lain. Misalnya dalam soal hubungan luar negeri
dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan
dari pemerintah negara bagian, sedangkan dalam soal kebudayaan, kesehatan dan
sebagainya, pemerintah negara bagian biasanya bebas dengan tidak ada campur
tangan dari pemerintah federal.
- 3. Negara Kesatuan
Menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang
legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat.
Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian sepenuhnya
terletak pada pemerin-tah pusat. Dengan demikian maka kedaulatannya tidak
terbagi.
Marilah kita mencoba menelaah, sejauh mana Pembukaan UUD 1945 memberikan
akomodasi terhadap bentuk negara tertentu, federasi atau kesatuan.
- Pada alinea kedua disebutkan :” . . . dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kata atau istilah bersatu tidak dapat dimaknai bahwa kedaulatan negara terpusat atau terdistribusi pada pemerintah pusat dan negara bagian, sehingga tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan apakah Negara Republik Indonesia berbentuk federal atau kesatuan.
- Mungkin salah satu landasan argument bagi bentuk negara adalah rumusan sila ketiga yakni “persatuan Indonesia.” Landasan inipun dipandang tidak kuat sebagai argument ditentukannya bentuk negara kesatuan. Untuk itu perlu dicarikan landasan pemikiran mengapa bangsa Indonesia menentukan bentuk Negara Kesatuan, bahkan telah dinyatakan oleh berbagai pihak sebagai ketentuan final.
- Bentuk Negara Kesatuan adalah ketentuan yang diambil oleh para founding fathers pada tahun 1945 berdasarkan berbagai pertimbangan dan hasil pembahasan yang cukup mendalam. Namun dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia pernah juga menerapkan bentuk negara federal sebagai akibat atau konsekuensi hasil konferensi meja bundar di Negeri Belanda pada tahun 1949. Namun penerapan pemerintah federal ini hanya berlangsung sekitar 7 bulan untuk kemudian kembali menjadi bentuk Negara kesatuan.
- Sejak itu Negara Replublik Indonesia berbentuk kesatuan sampai dewasa ini, meskipun wacana mengenai negara federal masih sering timbul pada permukaan, utamanya setelah Negara-bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Namun nampaknya telah disepakati oleh segala pihak bahwa bentuk negara kesatuan merupakan pilihan final bangsa.
Untuk dapat memahami bagaimana pendapat para founding fathers
tentang negara kesatuan ini ada baiknya kita sampaikan beberapa pendapat
anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
- Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, di antaranya mengusulkan sebagai dasar negara yang akan segera dibentuk adalah faham kebangsaan, sebagai landasan berdirinya negara kebangsaan atau nationale staat. Berikut kutipan beberapa bagian dari pidato tersebut. “Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d’etre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 ½ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan suatu kesatuan, melainkan hanya satu bagian daripada satu kesatuan. Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya sebagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat Rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble, tetapi Sunda pun satu bagian kecil daripada kesatuan.
- Dari kutipan pidato tersebut tidak dapat dijadikan landasan argumentasi bagi terbentuknya negara kesatuan. Apalagi kalau kita ikuti lebih lanjut pidato Bung Karno yang justru memberikan gambaran negara kebangsaan pada negara-negara federal seperti Jermania Raya, India dan sebagainya. Dengan demikian sila ketiga Pancasila “persatuan Indonesia,” tidak menjamin terwujudnya negara berbentuk kesatuan, tetapi lebih ke arah landasan bagi terbentuknya negara kebangsaan atau nation-state.
- Untuk mencari landasan bagi Negara kesatuan para founding fathers lebih mendasarkan diri pada pengalaman sejarah bangsa sejak zaman penjajahan, waktu perjuangan kemerdekaan sampai persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia. Penjajah menerapkan pendekatan devide et impera, atau pecah dan kuasai. Pendekatan tersebut hanya mungkin dapat diatasi oleh persatuan dan kesatuan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan melawan penjajah selalu dapat dipatahkan oleh penjajah dengan memecah dan mengadu domba. Hal ini yang dipergunakan sebagai alasan dan dasar dalam menentukan bentuk negara kesatuan.
- D. PILAR BHINNEKA TUNGGAL IKA
SEBAGAI PEREKAT
KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Pengantar
Dalam berbagai wacana yang disampaikan baik dalam forum resmi maupun non
resmi, seperti yang telah disampaikan di depan, terungkap bahwa terdapat empat
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Empat pilar
tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan empat pilar tersebut ada yang berpendapat sebagai
harga mati.
Pada tanggal 1 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato
politiknya, menegaskan kembali konsensus dasar yang telah menjadi kesepakatan
bangsa tersebut, yakni: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhinneka
Tunggal Ika. Konsensus dasar tersebut merupa-kan konsensus final, yang perlu
dipegang teguh dan bagaimana memanfaatkan konsensus dasar tersebut dalam
menghadapi berbagai ancaman baik internal maupun eksternal. Hal ini diungkap
kembali oleh Bapak Presiden pada kesempatan berbuka bersama dengan para
eksponen ’45 pada tanggal 15 Agustus 2010 di istana Negara.
Namun di sisi lain sebagian masyarakat memperta-nyakan atau
mempersoalkan makna Bhinneka Tunggal Ika dalam kaitannya dengan implementasi
Undang-undang No.32 tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah. Mengacu pada
pasal 10 UU tersebut, dinyatakan bahwa “pemerintah daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya.” Berbasis pada pasal tersebut, beberapa
pemerintah daerah tanpa memperha-tikan rambu-rambu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melaju tanpa kendali, bertendensi melangkah sesuai dengan
keinginan dan kemauan daerah, yang berakibat terjadinya tindakan yang dapat
saja mengancam keutuhan dan kesatuan bangsa yang menyimpang dari makna sesanti
Bhinneka Tunggal Ika.
Namun apabila kita cermati dengan saksama, pasal 27 dan 45 UU tersebut
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, kepala daerah dan anggota DPRD
wajib “memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Hal ini akan terlaksana dengan sepatutnya apabila prinsip Bhinneka Tunggal Ika
dapat dipegang teguh sebagai acuan dalam melaksanakan UU Pemerintah Daerah
dimaksud. Oleh karena itu berbagai pihak wajib memahami makna yang benar
terhadap Bhinneka Tunggal Ika, dan bagaimana meman-faatkan sebagai acuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan kenegaraan pada umumnya.
Sejak awal telah begitu banyak pihak yang berusaha membahas untuk memahami
dan memberi makna Pancasila, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal Ika masih kurang
menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan bagaimana
implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang sangat
penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak
dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna Bhinneka Tunggal Ika dan
bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Penemuan dan Landasan Hukum Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh
mPu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa
pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti
tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna
ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda
itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian
dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu
untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat
Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap
satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka
Tunggal Ika yang diungkap oleh mPu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah
Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan
Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa
sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang
terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna
ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada
perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan
resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD
1945.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir
sama dengan semboyan e Pluribus Unum, semboyan Bangsa Amerika
Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan.
Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu
Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada
hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah
diungkap oleh mPu Tantular lebih dahulu.
Jawa Kuna
|
Alih bahasa Indonesia
|
Rwāneka
dhātu winuwus Buddha Wiswa,
|
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
|
Bhinnêki
rakwa ring apan kena parwanosen,
|
Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
|
Mangka ng
Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
|
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
|
Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa.
|
Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
|
Sasanti yang merupakan karya mPu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan
bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan
kemerdekaannya, dijadikan semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka
Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya
, seperti yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan.”
Selanjutnya dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan :”Di daerah yang bersifat
otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerahpun
pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dalam territoir Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan voksgemeenschappen.
Daerah daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa.” Maknanya bahwa dalam
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan perlu ditampung keanekaragaman atau
kemajemukan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang Dasar
Sementera tahun 1950, pasal 3 ayat (3) menentukan perlunya ditetapkan lambang
negara oleh Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari pasal tersebut terbit
Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Baru setelah diadakan perubahan UUD 1945, dalam pasal 36A menyebutkan :”Lambang
Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Dengan
demikian Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang merupakan kesepakatan
bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu untuk dapat dijadikan
acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara, makna Bhinneka Tunggal
Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya difahami bagaimana
cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari Hari Kemerdekaan Bangsa
Indonesia, dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini sesuai dengan komponen yang terdapat
dalam Lambang Negara Indonesia. Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No.
66 tahun 1951 disebutkan bahwa : Lambang Negara terdiri atas tiga bagian,
yaitu:
- Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanannya;
- Perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan
- Semboyan yang ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Di atas pita tertulis dengan huruf Latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa Kuno yang berbunyi : BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Adapun makna Lambang Negara tersebut adalah sebagaki berikut:
Burung Garuda disamping menggambarkan tenaga pembangunan yang kokoh dan
kuat, juga melambangkan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia yang digambarkan
oleh bulu-bulu yang terdapat pada Burung Garuda tersebut. Jumlah bulu sayap
sebanyak 17 di tiap sayapnya melambangkan tanggal 17, jumlah bulu pada
ekor sebanyak 8 melambangkan bulan 8, jumlah bulu dibawah perisai sebanyak 19,
sedang jumlah bulu pada leher sebanyak 45. Dengan demikian jumlah bulu-bulu burung
garuda tersebut melambangkan tanggal hari kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni
17 Agustus 1945.
Sementara itu perisai yang tergantung di leher garuda menggambarkan
Negara Indonesia yang terletak di garis khalustiwa, dilambangkan
dengan garis hitam horizontal yang membagi perisai, sedang lima segmen
menggambarkan sila-sila Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan
dengan bintang bersudut lima yang terletak di tengah perisai yang
menggambarkan sinar ilahi. Rantai yang merupakan rangkaian yang
tidak terputus dari bulatan dan persegi menggambarkan kemanusiaan yang adil
dan beradab, yang sekaligus melambangkan monodualistik manusia Indonesia. Kebangsaan
dilambangkan oleh pohon beringin, sebagai tempat berlindung; Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-rakatan/perwakilan
dilambangkan dengan banteng yang menggambarkan kekuatan dan
kedaulatan rakyat. Sedang Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan kapas dan padi yang menggambarkan kesejahteraan dan
kemakmuran.
Dari gambaran tersebut, maka untuk dapat memahami lebih dalam makna
Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dipisahkan dari pemahaman makna merdeka, dan
dasar negara Pancasila. Marilah secara singkat kita mencoba untuk memberi makna
kemerdekaan sesuai dengan kesepakatan bangsa.
Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea pertama disebutkan “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka pejajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.” Memang semula kemerdekaan atau kebebasan diberi makna bebas
dari penjajahan negara asing tetapi ternyata bahwa kemerdekaan atau
kebebasan ini memiliki makna yang lebih luas dan lebih dalam karena menyangkut
harkat dan martabat manusia, yakni berkaitan dengan hak asasi manusia. Manusia
memiliki kebebasan dalam olah fikir, bebas berkehendak dan memilih, bebas dari
segala macam ketakutan yang merupakan aktualisasi dari konsep hak asasi manusia
yakni mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Memasuki era globalisasi kemerdekaan atau kebe-basan memiliki makna lebih
luas, karena dengan globalisasi berkembang neoliberalisme, neokapitalisme,
terjadilah penjajahan dalam bentuk baru. Terjadilah penjajahan dalam bidang
ekonomi, dalam bidang politik, dalam bidang sosial budaya dan dalam aspek
kehidupan yang lain. Dengan kemerdekaan kita maknai bebas dari berbagai
eksploatasi manusia oleh manusia dalam segala dimensi kehidupan dari manapun,
baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Sementara itu penerapan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara harus berdasar pada Pancasila yang telah ditetapkan oleh bangsa
Indonesia menjadi dasar negaranya. Dengan demikian maka penerapan Bhinneka
Tunggal Ika harus dijiwai oleh konsep religiositas, humanitas, nasionalitas,
sovereinitas dan sosialitas. Hanya dengan ini maka Bhinneka Tunggal Ika akan
teraktualisasi dengan sepertinya.
Konsep dasar Bhinneka Tunggal Ika
Berikut disampaikan konsep dasar yang terdapat dalam Bhinneka Tunggal Ika
yang kemudian terjabar dalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika yang dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara. Dalam rangka memahami konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan
lambang negara yang tidak terpisahkan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu
kita mengadakan refleksi terhadap lambang negara tersebut.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik
dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan
pluralisme, suatu faham yang membiarkan keanekaragaman seperti apa adanya.
Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan ke-berbedaan tanpa peduli adanya common
denominator pada keanekaragaman tersebut. Dengan faham pluralisme tidak
perlu adanya konsep yang mensubstitusi keanekaragaman. Demikian pula halnya
dengan faham multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham pluralisme dan
multikulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan teronggok
sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya
rumah.
Ada baiknya dalam rangka lebih memahami makna pluralistik bangsa difahami
pengertian pluralisme, agar dalam penerapan konsep pluralistik tidak terjerumus
ke dalam faham pluralisme.
Pluralisme berasal dari kata plural yang berarti banyak,
adalah suatu faham yang mengakui bahwa terdapat berbagai faham atau entitas
yang tidak tergantung yang satu dari yang lain. Masing-masing faham atau
entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak perlu
adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas
tersebut. Salah satu contoh misal di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa.
Menurut faham pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas
yang satu dari yang lain, tidak perlu adanya substansi lain, misal yang namanya
bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku bangsa tersebut.
Faham pluralisme melahirkan faham individualisme yang mengakui bahwa setiap
individu berdiri sendiri lepas dari individu yang lain. Faham individualisme
ini mengakui adanya perbedaan individual atau yang biasa disebut individual
differences. Setiap individu memiliki cirinya masing-masing yang harus
dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Faham individualisme ini yang
melahirkan faham liberalisme, bahwa manusia terlahir di dunia dikaruniai
kebebasan. Hanya dengan kebebasan ini maka harkat dan martabat individu dapat
didudukkan dengan semestinya. Trilogi faham pluralisme, individualisme dan
liberalisme inilah yang melahirkan sistem demokrasi dalam sistem
pemerintahan utamanya di Negara Barat.
Sebagai contoh berikut disampaikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
dan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara Perancis yang melandasi pelaksanaan
sistem demokrasi di negara tersebut yang berdasar pada faham pluralisme,
individualisme dan liberalisme.
United States Declaration of
Independence
We hold these truths to be self-evident, that all men are created
equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights,
that among these are Life, Liberty, and pursuit of Happiness. That to secure
these rights, governments are instituted among men, deriving just powers
from the consent of the governed.
Declaration of the Rights of Man and
Citizen
– Declaration des droits de l’homme
et du citoyen—
Men are born and remain free and equal
in rights. Social distinction can be based only upon public utility. The
aim of every political association is the preservation of the natural and
imprescriptible rights of man. These rights are liberty, property,
security, and resistance to oppression.
Dari deklarasi tersebut nampak dengan nyata faham pluralisme,
individualisme dan liberalisme menjelujuri sistem demokrasi yang diterapkan di
kedua negara tersebut. Dua deklarasi tersebut dinyatakan hampir bersamaan
waktunya, yakni pada akhir abad ke XIX, yang satu di Amerika Serikat, yang
satu di salah satu negara di Eropa.
Meskipun demikian mereka tetap mengakui bahwa manusia tidak mungkin hidup
seorang diri. Untuk dapat menunjang hidupnya dan untuk melestarikan dirinya,
mereka memerlukan pihak lain; beberapa pihak mengatakan bahwa hal ini terjadi
didorong oleh naluri atau instinct berkelompok. Mereka memerlukan hidup
bersama entah bagaimana bentuknya, dengan mendasarkan diri pada belief
system yang dianutnya. Di antara hubungan manusia dengan pihak lain
berbentuk pengabdian, bahwa yang satu semata-mata harus mengabdi kepada pihak
yang lain. Terdapat juga pengakuan bahwa hubungan antar manusia itu adalah
dalam kesetaraan. Sebagai akibat pola hidup manusia menjadi sangat beragam.
Didorong oleh realitas tersebut, maka bangsa Amerika dalam menerapkan
pluralisme, individualisme dan liberalisme mencari pola bagaimana dapat
membentuk suatu kehidupan bersama. Dalam hidup bersama diperlukan kesepakatan
untuk dijadikan pegangan bersama dalam melangkah ke depan menghadapi tantangan
hidup bersama. Dikembangkan pola yang disebut “kontrak sosial,” bahwa anggota
masyarakat harus merelakan sebagian dari hak individu demi terwujudnya
kehidupan bersama. Semangat bersatu dalam kehidupan bersama ini nampak dalam
semboyan yang terdapat dalam motto lambang negaranya yang berbunyi “ e
pluribus unum,” yang berarti “out of many, one” dari yang
banyak itu satu, atau unity in diversity. Metoda yang diterapkan dalam
membentuk kesatuan, disebut metoda melting pot, yang kalau dinilai lebih
jauh sudah menyimpang dari prinsip pluralisme.
Pluralitas adalah sifat atau kualitas yang menggam-barkan keanekaragaman; suatu
pengakuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh
bangsa Indonesia mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik,
beraneka ragam ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya,
agama yang dipeluknya, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau
keniscayaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus
didudukkan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus
dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan.
Perlu kita cermati bahwa pluralitas ini merupakan sunnatullah.
Seperti dikemukan di atas, pola sikap bangsa Indone-sia dalam menghadapi
keaneka-ragaman ini berdasar pada suatu sasanti atau adagium “Bhinneka
Tunggal Ika,” yang bermakna beraneka tetapi satu, yang hampir sama dengan
motto yang dipegang oleh bangsa Amerika, yakni “e pluribus unum.”
Dalam menerapkan pluralitas dalam kehidupan, bangsa Indonesia mengacu pada
prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa yang diutamakan adalah
kepentingan bangsa bukan kepentingan individu, berikut frase-frase yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945:
- Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa;
- Bahwa kemerdekaan yang dinyatakan oleh bangsa Indonesia, supaya rakyat dapat berkehidupan kebangsaan yang bebas;
- Bahwa salah satu misi Negara-bangsa Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Bahwa salah satu dasar Negara Indonesia adalah Persatuan Indonesia, yang tiada lain merupakan wawasan kebangsaan.
- Bahwa yang ingin diwujudkan dengan berdirinya Negara-bangsa Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut jelas
bahwa prinsip kebangsaan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa
Indonesia. Istilah individu atau konsep individualisme tidak terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain bahwa sifat pluralistik yang diterapkan di
Indonesia tidak berdasar pada individualisme dan liberalisme.
Pluralitas atau pluralistik tidak merupakan suatu faham, isme atau
keyakinan yang bersifat mutlak. Untuk itu tidak perlu dikembangkan
ritual-ritual tertentu seperti halnya agama.
Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya
kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat
budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai
serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman
tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong
menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki
oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara
sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi
segala tantangan dan persoalan bangsa.
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut :
- Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
- Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
- Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
- Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika
mendukung nilai: (1) inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka,
(3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak
merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah
disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat
yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan
tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian deras dan kuatnya,
serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat terbuka yang terarah
merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern. Sehingga keterbukaan dan
berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan terbentuknya
masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati,
tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang
menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan
khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat yang
pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara
Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan
daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata
untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah , menggambarkan
sempitnya kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi
kedaerahan, yang akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak
mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan
nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai, aman,
tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Implementasi Bhineka Tunggal Ika
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal
Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal
Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
- 1. Perilaku inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam
Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai
individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari
kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya
dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang
lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna
bagi kehidupan bersama.
- 2. Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang
dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku
bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada
jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa
memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam
keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat
toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai
dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada
pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama,
merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu
dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di
Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong,
suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi
semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai
agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak
bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di
wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang
mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah
tergerus arus reformasi.
- 3. Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya
sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu
diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi
pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam.
Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan
dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya
konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan
musyawarah untuk mencapai mufakat.
- 4. Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus
dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti
kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai
dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan
yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada
yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
- 5. Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai
harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri
hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan
berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi
sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.”
Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain,
dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan.
Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih
pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan
mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar insya Allah, Negara Indonesia
akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
Penutup
Para founding fathers dengan arief bijaksana mengantisipasi kemajemukan
bangsa ini dengan suatu rumusan sangat indah yang tertera dalam Penjelasan UUD
1945 sebagai berikut:
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya
rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di
daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.
Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai prinsip
dalam kita mengantisipasi keanekaragaman budaya bangsa dan dalam mengantisipasi
globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang mungkin saja bertentangan dengan
nilai yang diemban oleh bangsa sendiri. Semoga dengan berpegang teguh pada
konsep dan prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan
Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar