Minggu, 15 Juni 2014

TULISAN 3 TENTANG VIRUS DEMOKRASI (SEMESTER 4)

NAMA : DWI LILLAH DHAMAYANTI
KELAS : 2EA28
NPM: 12212290




Kita bisa mengatakan bahwa demokrasi itu secara epistemologis berasal dari Barat yang mana mengakomodir sekularisme dan kebebasan. Tetapi kita juga bisa berkata kepada khalayak bahwa untuk dunia Timur, khususnya Indonesia, demokrasi tidak mesti mengikuti Barat. Indonesia bisa memiliki dan membuat sistem demokrasinya sendiri dan setelah puluhan tahun kita tidak bisa mengatakan bahwa Indonesia tidak pernah memiliki sistem demokrasi. Kalau kita ingat, sudah berulangkali demokrasi “direcoki” oleh “sistem bikinan” orang Indonesia, semacam demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, sampai pada demokrasinya partai Demokrat.
Tapi realitanya bagaimana? pada tataran praksis dan empiris, ternyata demokrasi di Indonesia terus menerus diakali, digeser sana-sini, diancam, dan dijadikan bulan-bulanan. Virus lama yang belum ditemukan vaksinnya bagi bangsa ini, yaitu Oligarki dan feodalisme yang kembali menunjukkan taringnya di era modern ini untuk mempertahankan eksistensinya.
Kenapa dikatakan oligarki? ya, secara etimologis oligarki adalah adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok-kelompok elit, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Lihat saja pimpinan sekretariat bersama koalisi, yang ketua umumnya si pemegang kekuasaan tertinggi sekarang dan ketua hariannya adalah konglomerat sekaligus pemimpin partai terbesar kedua di negara ini. Lalu keberadaan partai-partai koalisi lainnya hanya sebagai pelengkap saja, walaupun berdalih segala macam dan ngalor ngidul di televisi tetapi tetap saja faktanya demikian. Mau pakai gula satu pulau untuk mempermanis dan memperseksi “koalisi” ini, akan tetapi yang faktual di masyarakat adalah seperti yang saya katakan barusan. Ketumnya si A, dan ketua hariannya si B yang mempunyai latar belakang cukup akurat untuk dikaitkan dengan praktik oligarki.
Kalau kata si mas Baz wartawan senior Kompas yang sering mengulang perkataannya di televisi, fenomena ini gak jauh beda dengan di zaman Soekarno, Soeharto dan seterusnya. Sedangkan kalau kata Thomas Koten dalam tulisannya di Suara Pembaruan, “Negara Kleptokrasi, Oligarki, dan Plutokrasi”, bahwa ketiga hal tersebut telah melekat dalam sistem demokrasi di negeri ini baik secara manifes maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya. “Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan plutokrasi sudah berjalan secara intra-organisasi dalam bentuk-bentuk persekongkolan, kroniisme dan nepotisme.” tulisnya.
Sebelum berlanjut pada feodalisme, perlu dibeberkan terlebih dahulu pengertian dari plutokrasi dan kleprokrasi. Plutokrasi adalah sebuah pemerintahan yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi dari dana yang dikucurkan negara. Adapun kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption).
Kemudian demokrasi juga terancam oleh feodalisme, yang pertama datang dari kalangan agamis, yakni orang-orang Islam yang berideologi mendirikan khilafah Islamiyah atau negara teokrasi. Yang kedua adalah feodalisme yang datang dari parpol-parpol namun nuansa feodalismenya sangat kental sekali. Feodalisme modern tidak mesti dianalogikan sebagai sistem warisan yang diturunkan secara temurun karena darah keturunan atau hubungan kekerabatan. Feodalisme modern juga nampak dari praktik patronase, atau dikatakan oleh Suwardi Endaswara dalam bukunya sebagai bapakisme (Falsafah Hidup Jawa, 2003:156).
Menurut Vincent Lemieux, Teori Patronase Politik adalah teori yang mengatakan bahwa patronase adalah suatu dispensasi dari suatu keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau hal-hal lain yang mempunyai nilai materi atau prestise dan sesuatu yang berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai, seperti memilih partai Patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum. Hubungan antara Patron dengan rekanannya mempunyai tipikal tidak seimbang dan selektif. (Le sens du patronage politique, 1987:5-18)
Sekarang kita lihat fenomena patronase dalam kehidupan berpolitik di negara ini, coba saja pembaca amati dan perhatikan. Akhirnya kita akan membenarkan teori Ben Anderson bahwa kekuasaan di Indonesia tak pernah lepas dari 4 hal yaitu, 1. Kekuasaan bersifat Konkrit. 2. Kekuasaan bersifat Homogen. 3. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. 4. Kekuasaan di alam semesta tetap.
Lalu ke mana perginya esensi demokrasi ketika dikatakan bahwa warga negara setara di mata hukum, mempunyai landasan hak yang sama yaitu keadilan, dan hak asasi yang sama di antara sesamanya. Apakah kita terus mempertahakan sistem politik negeri ini seraya berkilah “dalam tahap pembelajaran”, kita merasa telah berada dalam situasi aman dan kenyamanan, tetapi ketika terjadi kekeliruan kita terpaksa mengorbankan orang lain. Apakah kita terus menutupi dengan kalimat, “Kita punya demokrasi ala kita sendiri, kok”. Lantas selanjutnya apa, justru kita terjebak dan jebakan ini menebarkan kamuflase bahwa kita telah aman dan baik-baik saja dengan sistem yang ada.
Demokrasi apalagi yang hendak diakali di negeri ini, mungkin sampai nanti kita tidak pernah mengenal dan belajar apa itu demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar